Sunday, June 22, 2008

The News Maker: Obama!

MENGAPA Barack Obama menjadi buah bibir? Setelah berhasil lolos melawati pintu Partai Demokrat bersaingan dengan Hillary Clinton, ia dijagokan untuk menjadi presiden baru Amerika Serikat (AS) mengalahkan John McCain. Jika terpilih pada pemilu November 2008, mungkinkah Senator Negara Bagian Illinois ini akan membawa perubahan ke arah yang lebih baik untuk perdamaian dunia?

News Maker

Wacana politik AS dan dunia dibentuk oleh media massa (cetak dan elektronik, termasuk internet). Ilmuwan Komunikasi seperti Dan Nimmo menyebut media sebagai Komunikator Politik. Dalam bahasa sederhana, bila dipersonifikasikan, mereka seperti penutur (storyteller). Media hanya tertarik pada obyek yang memiliki sisi “yang berbeda” (karena hanya yang distingtif dapat memancing perhatian publik).

Pada titik ini Obama diuntungkan. Dari perspektif ilmu komunikasi, dia lebih banyak memiliki cerita “memukau”. Obama memiliki hampir semua kriteria nilai berita (news value) seperti: kebaruan, ketokohan, dan kontradiksi. Itulah yang menyebabkan ia terus menerus menjadi sorotan media (news maker).

Secara fisik saja, kulitnya yang tidak putih menjadikannya berbeda dengan calon presiden lainnya dalam sejarah AS. Dua tokoh kulit hitam AS menjadi pendukung kampanye Obama: Condoleezza Rice dan Oprah Winfrey. Condoleezza Rice adalah mantan Penasihat Keamanan dan saat ini menjabat sebagai Menlu AS. Sedangkan Oprah Winfrey merupakan presenter acara “The Oprah Show” yang telah mendunia.

Sadar atau tidak, Obama menjadi sosok pahlawan bagi warga kulit berwarna di AS. Maklum selama ini, mereka belum sepenuhnya mendapat perlakuan yang adil. Isu diskriminatif rasial seperti ini terakhir muncul saat Pemerintah AS dinilai lamban dalam menangani korban badai Katrina tahun 2005. Badai ini menerjang wilayah New Orleans, di negara bagian Louisiana yang mayoritas penduduknya berkulit hitam .

Ia juga dapat dilihat sebagai simbol kesetaraan. Ayahnya berasal dari Kenya. Meski ia sendiri tidak pernah bermukim di sana dan baru tiga kali mengunjungi negara Afrika tersebut. Tampilnya Obama, seolah memecah mitos bahwa hanya mereka yang berkulit putih saja yang dapat menjadi presiden.

Ada catatan menarik untuk ini. Walau AS di atas kertas mengagungkan kesetaraan, realitas sosial tidak selamanya demikian. Tahun 2000, Lieberman mengundurkan diri sebagai calon wakil presiden AS karena kuatnya penolakan publik atas dirinya yang berdarah Yahudi. Juga sudah menjadi semacam konsensus, presiden AS “harus” beragama Kristen Protestan. Sejarah mencatat, presiden AS yang beragama Kristen Katolik jumlahnya kurang dari 10 persen.

Selain “kebaruan” (calon presiden dengan kulit berwarna) dan “ketokohan” (simbol kesetaraan), cerita Obama juga memiliki nilai “kontradiksi”. Ini menarik bagi media. Usianya yang 46 tahun (bandingkan dengan McCain 72 tahun) mencitrakannya sebagai sosok yang “menjanjikan”. Termasuk dengan ide-ide ekonomi Obama yang boleh dibilang seratus delapan puluh derajat bertolak belakang dengan McCain.

Saat AS mengalami masalah keuangan seperti sekarang, issu ekonomi menjadi salah satu fokus perhatian media. McCain mengakui kelemahannya di bidang ini. Untuk aman, secara umum ia berencana melanjutkan kebijakan ekonomi Bush. Dengan kata lain, tidak akan ada hal yang betul-betul baru. Media tentu tidak akan menghabiskan waktu untuk mendiskusikan ide lama.

Jajak pendapat yang dilakukan oleh Washington Post dan ABC News menyebutkan 82 persen responden mengatakan, saat ini perekonomian AS berada di jalan yang salah (Gatra: 18 Juni 2008). Celah ini yang digunakan Obama untuk membuat perhatian terarah kepadanya. Ia fasih berbahasa ekonomi. Dalam beberapa kesempatan, pendapat yang keluar dari mulut Obama lebih mirip suara analis ekonomi berpengalaman ketimbang seorang senator atau bahkan calon presiden. Dia pun menjadi news maker.

Lobi Yahudi

Kemampuan Obama menarik perhatian media memberi keuntungan tersendiri bagi pembentukan citranya. Apakah popularitas ini dapat dimainkannya untuk perdamaian dunia, khususnya di Timur Tengah? Ini yang meragukan kita. Sebab sejak awal AS selalu menjalankan standar ganda dan tidak pernah menjadi penengah yang adil dalam konflik di sana.

Setelah dinyatakan menang sebagai calon presiden Amerika Serikat dari Partai Demokrat, Barack Obama menyatakan dukungan kuat untuk Israel dalam pidato kebijakan luar negerinya. Di hadapan kelompok lobi Yahudi di Amerika, American Israel Public Affairs Committee (AIPAC), Obama mengatakan keamanan Israel adalah hal yang “sakral” dan “tidak bisa dibantah”. Dia (juga) akan mengambil “segala” tindakan terhadap Iran untuk menghentikan negara itu memiliki senjata nuklir (BBC: 4 Juni 2008).

Sudah menjadi rahasia umum di AS, seorang kandidat presiden harus mendukung Israel. Jika tidak, bersiaplah untuk gugur di tengah jalan. Juga bukan rahasia lagi, hampir tidak ada politikus Partai Demokrat yang sukses tanpa dukungan kelompok Lobi Yahudi terkuat di AS itu. Termasuk dalam urusan dana kampanye. Washington Post pernah melaporkan, separuh dari dana kampenye Bill Clinton tahun 1996 berasal dari kaum Yahudi AS (Tempo: 22 Juni 2008).

Jika Obama terpilih, boleh jadi yang ada hanyalah kemenangan simbolik. Termasuk bagi Indonesia, tempat di mana Obama pernah mampir bersekolah di masa kecil. AS tetap akan menjadi menjadi bodyguard Israel dan berperilaku sebagai negara unilateral yang hanya mau menang sendiri. AS bukanlah teman apalagi sahabat. Seperti kata Soekarno, “Lebih baik ke neraka sendiri daripada ke surga berteman Amerika.” Obama atau siapa, sama saja! ***

Labels:

Thursday, June 05, 2008

Televisi & Kode yang Melindungi Anak

TELEVISI belum menunjukkan itikad baiknya dalam memberikan program acara yang baik untuk anak-anak. Pertama, karena mereka belum membubuhkan kode yang dapat membantu publik untuk mengetahui acara mana yang mereka tujukan untuk anak-anak. Kedua, karena acara yang tampaknya ditujukan untuk anak-anak (seperti kartun atau film animasi), ternyata tidak sepenuhnya sehat untuk tumbuh kembang anak.

Kode

Dalam Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) No.2 tahun 2007 tentang Pedoman Perilaku Penyiaran, lembaga penyiaran televisi diwajibkan untuk mencantumkan informasi klasifikasi program isi siaran berdasarkan usia khalayak penonton. Informasi ini harus ditampilkan di setiap acara dan disiarkan sepanjang acara berlangsung. Gunanya untuk membantu publik dalam mengidentifikasi program acara yang berlangsung dan melindungi kelompok usia yang rentan seperti anak-anak dan remaja.

Kenyataannya ini tidak dipatuhi oleh stasiun televisi. Kode yang muncul, itupun sesekali, hanyalah “BO” yang berarti “Bimbingan Orangtua”. Tidak ada rincian penjelas lainnya. Padahal seharusnya ada kode “A” bila program itu ditujukan untuk anak anak (usia di bawah 12 tahun). Kode “R” untuk remaja (12-18 tahun). Kode “D” untuk dewasa. Dan “SU” untuk semua umur. Televisi seperti warung tanpa informasi menu. Kita sadar bahwa makanan itu pedas, manis, atau asin, nanti setelah selesai menyantapnya.

Aturan seperti ini sebenarnya bukan barang baru. Amerika Serikat, negara yang mengagungkan kebebasan individu juga menerapkan aturan serupa untuk melindungi anak-anak. Bahkan lembaga seperti KPI yang bernama Komisi Komunikasi Federal (Federal Communications Commission disingkat FCC) mewajibkan televisi untuk mencantumkan kode yang lebih detail.

Kode “TV-Y” yang menandakan bahwa sebuah acara ditujukan dan aman untuk semua tingkat usia anak-anak. Khususnya bagi penonton yang sangat belia yang berusia 2-6 tahun. Sedangkan “TV-Y7” ditujukan untuk anak yang usianya lebih tua yakni yang berusia tujuh tahun ke atas. Mereka telah dapat membedakan antara khayalan dan kenyataan. Kedua jenis acara ini dirancang untuk dapat ditonton oleh anak secara mandiri.

Ada juga kode yang ditujukan untuk penonton secara umum. Kode “TV-MA” (mature audience) untuk acara yang ditujukan bagi khalayak dewasa. Sedangkan tanda “TV-G” yang muncul pada sebuah program acara menginformasikan bahwa acara tersebut cocok untuk semua usia (general audience). Ada dua jenis acara yang merekomendasikan agar orangtua mendampingi anak mereka saat menontonnya yaitu “TV-PG” dan “TV-14”.

Kode “TV-PG” (parental guidance) menandakan bahwa sebuah acara mengandung unsur kekerasan dan seksual meski dalam jumlah yang sedikit. Anak-anak yang menonton acara ini, disarankan agar didampingi oleh orangtuanya. Sementara tanda “TV-14” ditujukan untuk acara yang mengandung unsur kekerasan, seksual, atau kata kasar dalam jumlah yang sedang (moderat). Anak-anak di bawah usia 14 sangat disarankan untuk didampingi saat menonton acara ini.

Tanggung jawab untuk mencantumkan informasi ini sepenuhnya milik televisi. Karena merekalah yang memproduksi atau yang lebih mengetahui isi program disiarkan. Untuk program anak, stasiun televisi antara lain juga harus menjelaskan kepada FCC rentang usia yang menjadi target sebuah acara. Termasuk sisi pendidikan yang menjadi tujuan program tersebut dan bagaimana tujuan itu dikemas agar memungkinkan anak untuk mendapatkannya.

Kartun

Karena tidak ada informasi yang dapat membantu dalam menentukan program acara untuk anak, publik pun beranggapan bahwa acara yang tampaknya ditujukan untuk anak-anak (seperti film animasi atau kartun) adalah sehat untuk tumbuh kembang anak. Padahal tidaklah demikian. Hanya kartun seperti “Dora the Explorer” dan “Go Diego Go” (Global TV) yang sepenuhnya sehat (hijau). Selebihnya masuk daerah kuning atau merah.

Kartun “Scooby Doo” (Trans-7) tepat untuk anak usia di atas tujuh tahun yang dapat berpikir runut dan analitik. Tetapi tidak untuk mereka yang di bawah tujuh tahun. Karena di setiap episode, Scooby dan kawan-kawan memecahkan teka-teki layaknya detektif. Berbeda dengan sinetron yang mempercayai hantu, serial “Scooby Doo” justru ingin menunjukkan kepada anak bahwa hantu itu tidak ada. Dia hanya menjadi kamuflase para penjahat.

Film animasi seperti “Naruto” (Global TV) atau beberapa waktu sebelumnya ada “Sinchan” (RCTI) adalah contoh kartun yang ditujukan untuk orang dewasa. Sama seperti kartun “The Simpsons” yang pernah ditayangkan ANTV. Kartun “Naruto” sarat dengan muatan kekerasan. Menunjukkan sejumlah alat untuk membunuh termasuk cara menggunakannya. Sementara “Sinchan” dan “The Simpsons” lebih pada muatannya yang banyak tidak mengindahkan nilai susila.

Awal April 2008, BBC melaporkan bahwa televisi Venezuela tidak lagi menayangkan serial kartun “The Simpsons” pada program pagi setelah dinilai tidak pantas untuk anak-anak. Waktu penayangan film animasi “The Simpsons” digantikan dengan “Baywatch”. Sepintas penggantinya tidak jauh lebih baik.

Film “Baywatch” menampilkan bikini dan lekuk tubuh wanita pemerannya seperti Pamela Anderson. Namun ini jauh lebih mudah diidentifikasi dan diantisipasi. Orangtua pun dapat melarang anak-anak mereka menontonnya. Bandingkan dengan film animasi yang kelihatannya aman-aman saja namun ternyata banyak menyimpan masalah. Betapa orangtua akan kecolongan.

Sudah saatnya pendekatan kode acara diterapkan dengan lebih baik. Metode ini akan memaksa stasiun televisi untuk lebih memikirkan tanggung jawab sosial atas apa yang mereka tayangkan. Orangtua pun akan lebih mudah dalam memilih acara mana yang aman untuk anak mereka. Karena untuk selalu menemani saat anak menonton televisi, rasanya juga mustahil. Bukan begitu?!***

Labels: