Monday, June 16, 2014

Menakar Efek Kampanye


 ADA satu pertanyaan standar yang paling sering kita dengarkan. Bagaimana efektivitas kampanye yang dilakukan oleh para kontestan pemilu? Meski terdengar sederhana, untuk menjawabnya butuh riset yang mendalam dan tidak sebentar. Banyak sekali variabel yang menyumbangkan andil pada hasil sebuah kampanye. Bukan saja dari siapa yang menyampaikannya (aktor politik), pesan apa yang disampaikan (janji politik), atau melalui apa pesan tersebut disebarluaskan (media kampanye). Tetapi masih banyak faktor lain yang berhubungan dengan pemilih itu sendiri (voter) dan keadaan yang terjadi saat kampanye itu dilakukan.

(Bukan) Obat Mujarab

Tulisan ini tidak mendefinisikan kampanye sekaku menyampaikan visi-misi seperti yang dibunyikan dalam undang-undang atau peraturan mengikat lainnya. Kampanye secara sederhana dapat diartikan sebagai penyampaian pesan yang bertujuan untuk menarik simpati dan dukungan para pemilih. Baik itu menggunakan media massa atau tidak. Meski secara normatif seseorang dapat berkelit, masyarakat sudah cukup cerdas memaknai itu. Di televisi misalnya, tiba-tiba ada tokoh yang rajin muncul dan menyampaikan ucapan selamat ini dan itu. Di billboard pada jalan-jalan protokol akan terpampang wajah mereka (yang dulunya asing). Ada juga yang menyelinap dalam acara-acara sosial atau bahkan pertandingan olahraga antarkampung. Apapun namanya, kita dapat rasakan kehadiran pesan itu sebagai kampanye.

Sering kali kegagalan peserta pemilu dikaitkan dengan buruknya kampanye. Seolah keberhasilan kampanye berbanding lurus dengan keberhasilan kontestan pemilu. Padahal kenyataannya tidaklah demikian. Kampanye hanya salah satu bagian dari beberapa elemen keberhasilan seorang kontestan. Jika kita tarik konteks ini ke dalam pemilu presiden, akan terlihat kalau mereka yang hanya mengandalkan kampanye tidak serta merta memiliki elektabilitas yang tinggi. Sebut saja tokoh seperti Surya Paloh, Wiranto, dan Hari Tanoesoedibjo. Mengapa kampanye selalu saja terlihat seolah seperti obat mujarab kemenangan kontestan pemilu? Mungkin karena ia terlihat, terpublikasi. Jadi dapat terukur dan seolah menjadi rujukan satu-satunya untuk menilai perjuangan seorang kandidat.

Jadi, kampanye bukan satu-satunya penentu kemenangan. Ia mesti bersinergi dengan beberapa elemen non-kampanye lainnya. Sebut saja seperti lobi (internal) partai pendukung, restu dari pemukan masyarakat, strategi dan eksekusi pemenangan, sampai pada kecukupan dana yang disiapkan (hingga pada tahapan akhir), juga turut menentukan nasib setiap kandidat. Selanjutnya kita akan lihat bahwa elemen kampanye pun masih memiliki sub-sub elemen penting di dalamnya. Unsur-unsur penyusun kampanye ini kadang tampak, tapi tidak secara sadar dirasakan oleh publik. Aktor politik, pesan dan cara kandidat mengemas pesan tersebut, saluran atau media yang digunakan, dan sosiopsikografi pemilih adalah empat sub elemen penentu efektivitas suatu kampanye.

Sub Elemen

Pertama, yang “dijual” dalam kampanye adalah aktor politik. Sebagaimana layaknya manusia, setiap orang punya kelebihan (yang dapat ditonjolkan) tetapi juga punya sisi lain yang dapat merusak daya “jualnya”. Uniknya, tidak semua sisi positif kandidat yang ingin ditawarkan dapat itu menarik perhatian publik. Masing-masing kita punya selera yang berbeda. Punya cara interpretasi yang beragam dan kadang tidak seperti yang diharapkan. Prabowo bertubuh tegap bisa terlihat tegas oleh sebagian orang, tetapi dapat dimaknai kaku bagi sebagian lain. Joko Widodo yang sering tersenyum dinilai lemah bagi yang tidak menyukainya, tetapi dianggap bersahabat bagi yang lain. Terlihat bahwa karakter personal yang positif saja bisa menjadi sesuatu yang produktif sekaligus kontra produktif bagi kandidat itu sendiri.

Katakanlah aspek kualitas personalnya sudah dapat ditampilkan seperti yang diharapkan, sub elemen kampanye kedua adalah berkenaan dengan apa yang menjadi janji-janji politik mereka. Cara mereka mengemas dan memberi penekanan pada janji itu. Cara mereka meyakinkan publik bahwa mereka dapat memenuhi janji tersebut. Selain itu, yang ketiga adalah kontribusi saluran atau media kampanye. Televisi bukan satu-satunya media massa yang paling memiliki kekuatan untuk mempengaruhi persepsi publik. Secara teoritis memang betul, pesan dalam bentuk audio visual lebih mudah diingat daripada pesan yang hanya didengarkan atau hanya dipandang (seperti media cetak atau baliho). Kenyataanya, bahkan pemilik jaringan media yang setiap hari muncul di televisi pun tidak dapat memenangkan simpati publik. Saat ini justru tabloid Obor Rakyat yang jadi momok menakutkan kubu Joko Widodo karena banyak memuat apa yang mereka sebut sebagai kampanye hitam. Media online juga sering disebut-sebut sebagai kuda hitam yang dapat menjadi kekuatan baru media kampanye. Hanya perlu diingat bahwa pengguna internet di Indonesia masih di bawah 20 persen. Riset yang didanai Ford Foundation pada 2012 menunjukkan bahwa pengguna internet di Indonesia baru 18 persen.

Terakhir, hal yang tidak dapat dikendalikan dari kampanye adakah perilaku pemilih. Kandidat dapat mengemas citra diri, pesan, bahkan memilih media kampanye yang mereka inginkan, tetapi pada akhirnya pemilih (voter) punya cara sendiri untuk merespon sebuah kampanye. Aspek sosiopsikografi pemilih ini yang secara berkala diukur oleh lembaga survey politik. Ada variabel sosial yang sifatnya sangat kondisional di tiap kelompok masyarakat yang berbeda satu dengan lainnya. Serta ada pula variabel psikologis pemilih yang sifatnya sangat personal dan dapat menjungkirbalikkan hasil survey sekalipun. Dengan kacamata itu kita dapat pahami mengapa suara orang yang sangat butuh uang begitu mudah dibeli. Bagi mereka, kandidat yang layak dipilih adalah yang memberikan apa yang mereka butuhkan dengan segera.

Keempat sub elemen tadi saling terkait dan dapat saling mempengaruhi. Bisa jadi paparan ini akan membuat kampanye terlihat lebih rumit dari yang jamak kita duga sebelumnya, tetapi memang begitulah adanya.***

~dipublikasikan dalam Kendari Pos 17 Juni 2014

Labels: