Thursday, June 01, 2006

Nasser, Radio, dan Perubahan Sosial

MANTAN Presiden Mesir Gamal Abdul Nasser, pernah memerintahkan pembagian pesawat penerima radio secara gratis kepada kelompok-kelompok masyarakat desa di seantero Mesir. Dia juga memberikan alokasi dana dalam jumlah yang cukup besar untuk pengembangan Badan Penyiaran Negara Mesir. Mungkin seperti RRI di Indonesia. Nasser memanfaatkan radio sebagai agen perubahan. Ia ingin membangun Barisan Rakyat Revolusioner dan mengubah politik Mesir dalam tempo yang singkat.

Ide radionisasi Nasser ini tergolong spektakuler di zamannya. Lenin (1929) pun mencatatnya sebagai tindakan yang revolusioner. Meski tidak sepenuhnya membuahkan hasil seperti yang diinginkan. Hal ini disadari oleh Nasser seperti tertuang dalam autobiografinya. Di banyak dusun, pesawat radio ternyata dikendalikan oleh para pemuka pendapat. Radio dihidupkan hanya pada acara yang digemari oleh para pemuka desa. Ia dimatikan ketika acara kegemaran mereka itu berakhir.

Barisan Rakyat Revolusioner yang diimpikan Nasser tak kunjung bisa dikendalikannya. Justru para bangsawan tradisional desa (oomdahs) yang mengambil alih kendalinya. Karena kegagalan ini, Lerner (1976) menyebut Nasser wafat sebagai orang yang “frustasi”. Mobilisasi massa dengan radio tidak berhasil diwujudkannya.

Kekuatan

Memanfaatkan media penyiaran sebagai penyebar pesan secara massal, bukanlah hal yang tanpa alasan. Mantan Presiden AS, FD Roosevelt pun menggunakan radio untuk menenangkan masyarakatnya dalam menghadapi krisis ekonomi tahun 1930-an. Dan sejarah menunjukkan bahwa Roosevelt berhasil.

Dari karakteristiknya, media elektronik ini memang memiliki sejumlah kekuatan yang tidak dimiliki oleh media jenis lain. Pertama, kecepatan. Pesan dari radio maupun televisi dapat dengan segera diterima oleh khalayak. Bahkan di saat suatu peristiwa tengah berlangsung. Gelombang elektromagnetik radio dan televisi dapat menghampiri khalayak dalam keadaan apa saja, tanpa mereka merasa diinterupsi.

Kedua, media penyiaran dapat menembus isolasi geografis. Ia dapat menjangkau area yang sangat luas. Penyebaran pesannya tidak dipengaruhi dukungan infrastruktur transportasi. Sejauh apa lemparan signal pemancar, sejauh itu pula khalayak yang dapat dijangkau olehnya. Ia dapat mendaki bukit, menuruni lembah menuju pantai, serta menyeberangi pulau dan lautan.

Ketiga, murah untuk dikonsumsi oleh khalayak. Khalayak tidak perlu membeli pesawat penerima radio dan televisi setiap ingin mendengarkan atau menyaksikannya. Cukup sekali beli, mereka dapat menikmatinya hingga jangka waktu yang lama. Khalayak pun dapat menikmati lebih dari satu kanal siaran. Bergantung pada kebutuhan dan keinginan mereka.

Keempat, media penyiaran adalah media yang komunikatif. Tidak diperlukan syarat melek huruf bagi khalayaknya. Orang buta huruf pun bisa mengerti selama bahasa yang digunakan familiar, bukan asing. Bahasa yang digunakan media penyiaran adalah bahasa tutur. Bahasa yang mudah dicerna bahkan oleh khalayak dengan tingkat pengetahuan dasar sekalipun. Radio kerap dengan leluasa menggunakan langgam bahasa daerah setempat. Sedangkan bagi televisi, bahasa lisannya dibantu dengan sejumlah pesan visual sebagai pendukung.

Inspirasi

Nasser dapat menjadi patron bagi pemimpin di daerah kita. Khususnya bagi wilayah pemekaran yang sebentar lagi akan memilih pemimpin baru. Atau Sulawesi Tenggara secara umum yang masyarakatnya menyebar di wilayah daratan dan kepulauan dengan tingkat pendidikan dan ekonomi yang masih rendah. Penduduknya membutuhkan pencerahan agar dapat meningkatkan kualitas hidup mereka. Kelebihan media penyiaran sangat tepat digunakan untuk mereka yang terisolir dan memiliki tingkat ekonomi dan melek huruf yang rendah.

Potensi media penyiaran dapat digunakan dan dioptimalkan sebagai alat penyebar ide-ide besar yang dapat menjadi motor perubahan sosial. Tentu dengan penanganan khusus. Tidak boleh hanya bertumpu pada kekuatan media ini. Memanfaatkan digdaya media penyiaran, tidak hanya berkaitan dengan perangkat keras pemancar siar dan memproduksi sejumlah program siaran semata. Namun juga berhubungan dengan khalayak. Kebutuhan, selera, dan perilaku mereka. Mengapa?

Karena khalayak yang menjadi sasaran sebuah program siaran, sifatnya aktif. Kecepatan mereka mengabaikan sebuah program siaran, sama dengan kecepatan jari ketika digerakkan. Probabilitas mereka menggerakkan tangannya (baca: mengabaikan program siaran), berbanding lurus dengan jumlah program siaran lain yang ada.

Makin banyak alternatif program, makin besar peluang mereka berpindah. Peluang ini akan makin terdongkrak dengan semakin banyaknya media alternatif (selain media penyiaran). Satu-satunya jalan untuk menarik perhatian khalayak adalah dengan menyiarkan program-program acara yang menjadi kebutuhan mereka.

Belajar dari Nasser, khalayak sepatutnya tidak dicekoki oleh hal-hal yang semata-mata menjadi keinginan pembuat pesan. Tetapi oleh apa yang khalayak butuhkan. Dari kebutuhan inilah hingga mereka merasa menjadi bagian dari setiap program acara. Untuk program acara ekonomi, misalnya, tentu lebih menarik perhatian khalayak jika memuat informasi tentang harga jual komoditas lokal, daripada informasi pergerakan saham di Bursa Efek Jakarta.

Kebutuhan khalayak adalah akses yang berharga. Komunikator yang andal, biasanya membonceng ide-ide besar mereka di belakang kebutuhan khalayak. Tentu ini membutuhkan keahlian khusus. Di sini, cara mengemas program acara di media penyiaran memegang kendali penting.

Tidak jarang, hal-hal yang bermanfaat bagi khalayak menjadi “basi” karena tidak tepat cara mengemasnya. Misalnya informasi tentang AIDS dan narkoba. Ini akan lebih menarik bagi remaja bila diselipkan dalam sebuah paket program hiburan, daripada disajikan khusus dalam sebuah rubrik siaran berita.

Yang tidak kalah pentingnya adalah fokus khalayak. Bukan hanya Nasser, mimpi besar setiap pemimpin adalah mempengaruhi orang sebanyak mungkin. Sayangnya, makin heterogen khalayak yang dibidik oleh media penyiaran, makin sulit efek yang diharapkan dapat dicapai.

Kebutuhan dan selera mereka tidak seragam. Informasi yang penting bagi kelompok masyarakat tertentu, tidak serta merta akan menjadi penting di mata kelompok masyarakat lain. Menyesuaikan cara mengemas siaran menurut selera satu kelompok masyarakat saja, mungkin akan mendapat penolakan bagi kelompok lain. Menjadikan kelompok khalayak sasaran menjadi lebih homogen akan mengoptimalkan efek perubahan sosial yang diinginkan.

Kita berharap, pemimpin-pemimpin yang akan (dan telah) lahir di daerah ini memiliki visi besar untuk melakukan perubahan sosial. Nasser dengan media penyiarannya bisa menjadi sumber inspirasi. Tidak seperti Roosevelt, Nasser memang gagal. Namun tidak mustahil, kita bisa merancang sebuah lompatan perubahan sosial yang gemilang dari kegagalannya.***

Labels: