Thursday, January 12, 2017

Hoax dan Buzzer di "Awan"



HOAX atau berita bohong adalah wabah. Setidaknya begitu cara pandang yang sekarang digunakan pemerintah. Tulisan ini ingin memberikan perspektif lain. Hoax tidak dapat dipungkiri hadir sebagai pemenuhan kebutuhan pasar yang dikondisikan oleh menurunnya rasa percaya pada media mainstream. Oleh karena itu, aksi bersih-bersih hoax di ranah maya menjadi satu hal yang boleh dibilang simtomatis, hanya dipermukaan saja. Termasuk rencana untuk membentuk Badan Siber Nasional. Mengapa tidak mengoptimalkan saja divisi siber Polri? Praktik pemblokiran internet hanya akan efektif jika kita kembali ke sistem pemerintahan yang otoriter atau totaliter.

AWAN

Mengumpamakan situs internet seperti lapak pedagang kaki lima yang bisa digusur adalah logika yang absurd. Di ranah maya tidak ada kapling tanah. Setiap saat 'luas' area di sana terus bertambah dan entah di mana tempatnya. Karena tidak mudahnya untuk menentukan lokasi lapak, maka dikenallah istilah "awan" (cloud) sebagai tempat penyimpanan semua data di internet. Belajar dari tahun-tahun kemarin ketika Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) begitu bersemangat menutup situs-situs porno, pertanyaannya kemudian: Apakah sekarang materi pornografi tidak dapat ditemukan lagi di internet?

Ketika satu situs diblokir, tidak berarti semua datanya akan ikut musnah. Salah satu ciri yang membedakan data analog dan digital adalah sifat data digital itu yang mudah digandakan juga dipindahkan. Benar, jika telah diblokir, situs berita tentu tidak bisa diakses. Kantor mereka pun bisa disegel. Pelakunya dipidanakan. Tapi tidak berarti datanya hilang. Semuanya aman tersimpan di "awan" yang sewaktu-waktu dapat digunakan kembali. Jadi inti persoalannya bukan pada situs semata, tapi data digital (baca: berita) yang disebut hoax itu, bukan?

Satu hal lagi, terkait parameter yang digunakan ketika memberi label hoax pada suatu berita. Model partisipatif untuk melaporkan berita yang dianggap hoax itu bisa berubah menjadi sangat subyektif. Mereka yang mengambil posisi sebagai sahabat pemerintah, dapat saja mencap semua berita yang menjelek-jelekkan pemerintah sebagai hoax (padahal tidak semua berita buruk itu bohong). Dengan cara "pukul rata" seperti itu, mekanisme check and balance dari publik tidak dapat terwujud. Sementara hal itu baik untuk kedewasaan berdemokrasi dan sebagai alat kontrol atas pemerintah.

Tidak ada maksud untuk mengatakan bahwa hoax itu baik bagi demokrasi. Tapi cara menangani berita atau situs hoax itu yang dapat berbahaya bagi demokrasi, bagi kebebasan berkekspresi. Dalam beberapa kasus, bahkan media online yang kredibel dan bereputasi pun dapat saja tanpa sengaja menyebarluaskan berita hoax. Masih ingat bagaimana dunia dibuat percaya bahwa Irak memiliki senjata pemusnah massal? Itu yang memberi legitimasi pada George W. Bush untuk melancarkan serangan ke Irak pada Maret 2003. Sampai saat ini, senjata pemusnah massal itu tidak ditemukan. Entah dunia tidak ingat, atau pura-pura lupa kalau kejahatan perang itu dipicu oleh hoax. Media dijebak oleh narasumber mereka.

Kalaupun tidak terjebak oleh narasumber, media bisa saja melihat atau membingkai satu peristiwa dengan cara yang berbeda. Contoh terbaru tentang kuota haji Indonesia tahun 2017. Media yang pro pemerintah memuji capaian tersebut sebagai kesuksesan dengan menyebutnya sebagai "penambahan kuota". Tetapi ada pula media lain yang melihat bahwa sebenarnya tidak ada penambahan, tetapi "pengembalian kuota" ke posisi semula (karena sebelumnya kuota haji Indonesia dipangkas sebagai konsekuensi dari pengembangan fasilitas haji di Mekkah). Kedua pemberitaan ini benar, meski muatan pencitraannya berbeda. Jadi sangat mungkin mereka yang mengambil posisi sebagai oposisi pemerintah menyebut berita penambahan kuota itu sebagai plintiran.

PASAR

Yang tidak dapat dipungkiri, Indonesia saat ini ada di era ketidakpercayaan pada media mainstream. Alasannya sederhana, mereka sangat elitis dan begitu kental keberpihakannya sejak Pemilu Presiden 2014. Sudah jadi pengetahuan umum, ke media mana para loyalis pemerintah akan merujukkan beritanya (demikian pula sebaliknya). Himbauan agar media kembali ke fungsinya sebagai mediator yang adil, seperti tidak diindahkan. Dengan kata lain, ide Wilbur Schramm agar media dapat menjadi pengamat yang adil, forum, dan guru bagi masyarakat juga masih jauh dari kenyataan.

Sebagai eksesnya, publik lalu mencari media alternatif dan internet menyediakan itu. Mungkin saja mereka melihat internet sebagai media alternatif yang lebih netral dan dapat dipercaya. Jauh dari kepentingan sebagaimana halnya media mainstream. Padahal setiap media punya bias-bias kepentingannya masing-masing. Selain itu, situs berita alternatif tadi barangkali dirasa dapat memenuhi kebutuhan mereka untuk memenuhi asumsi awal mereka atas banyak hal. Para sahabat pemerintah akan mengutip situs-situs berita yang mendukung sikap mereka, demikian pula sebaliknya. Yang terjadi kemudian bukan dialog, tapi monolog. Kalaupun ada percakapan isinya olok-olok yang jauh dari model ruang publik yang diidamkan Jürgen Habermas.

Peluang ini ditangkap oleh para pendulang rupiah. Dengan jumlah pengguna internet tahun 2016 mencapai 132,7 juta, Indonesia adalah pasar yang sexy. Hoax dapat menjadi sumber pendapatan yang menggiurkan. Majalah Tempo (8 Januari 2017) melaporkan, salah satu situs yang diblokir Kementerian Kominfo bisa meraup keuntungan Rp 485 juta per tahun dari hoax. Bukan situs saja, para "pasukan" siber (buzzer) juga meraup banyak keuntungan dari ladang ini. Mereka adalah sejumlah orang yang memiliki keahlian di bidang teknologi informasi dan komunikasi. Mereka bekerja dengan target tertentu dalam sebuah kontestasi ide: untuk membentuk dan memenangkan opini di ranah maya.

Awalnya keahlian mereka digunakan oleh perusahaan untuk mendongkrak penjualan produk. Tetapi penghasilan mereka kecil. Para buzzer merasa lebih dapat memperoleh penghasilan yang lebih banyak dengan terjun di bidang politik. Mereka memproduksi (baca: merekayasa) foto, grafis, teks, atau materi apa saja yang dapat digunakan untuk memenuhi target yang diminta oleh pihak yang menggunakan jasa mereka. Selain dua hal yang sudah disebutkan di atas tadi (kepercayaan dan sikap), hal ini diperburuk dengan masih kurangnya kemampuan publik untuk menyaring dan menimbang dengan akal sehat apa yang ditemukan di internet.

Andai publik mau sedikit bersusah-susah untuk menalar setiap informasi yang diterima, situs-situs hoax akan gulung tikar dengan sendirinya. Jika tidak, publik sendiri yang menjadi kaki tangan dari para buzzer. Tanpa sadar, bahkan tanpa dibayar, ikut menyebarteruskan apa yang diinginkan para aktor di belakang layar. Sayangnya, hoax sudah terlanjur menjadi kebutuhan pasar: pengguna internet, buzzer, dan elit sama-sama 'senang'. Hoax sepeti gosip yang dicaci –karena merugikan, tapi dicari juga –kalau menguntungkan.***

Labels:

0 Comments:

Post a Comment

<< Home