Friday, September 07, 2007

Televisi dan Potret Nasionalisme

TELEVISI merupakan media massa yang penetrasinya begitu luas di tanah air. Ia
memiliki kekuatan untuk mengarahkan perhatian dan membentuk persepsi publik. Ironisnya, isi program televisi tidak menunjukkan kepedulian pada nilai-nilai yang menjadi filosofi bangsa. Itulah sebab mengapa televisi memiliki andil dan bertanggung jawab atas redupnya sikap nasionalisme kita saat ini.

Seorang ilmuwan pernah berseloroh: "Untuk mengatahui nasionalisme sebuah bangsa, lihat saja siaran televisinya." Bila menyimak televisi, akan ditemukan ideologi liberal dalam berita, talk show, hingga infotainment. Ada hedonisme, sadisme, dan peneguhan stereotype negatif dalam sinetron. Pun akan tersibak konsumerisme dan kapitalisme dalam iklan. Inilah nilai yang mendominasi televisi Indonesia.

Bertanyalah kepada publik tentang kisah hidup Soekarno, Hatta, Sutan Syahrir, Haji Agus Salim, Mohammad Natsir, Tan Malaka, Sjafruddin Prawiranegara, atau para bapak bangsa yang lainnya. Boleh jadi beberapa nama dari mereka justru terdengar asing. Mengapa? Karena televisi sebagai media populis, tidak pernah memperkenalkan sosok-sosok patriotik itu. Tentang sikap, kepribadian, dan kebersahajaan hidup mereka. Sebagai bangsa, Indonesia tumbuh seperti anak yang tidak mengenal ayahnya sendiri.

Melawan Lupa

Mohammad Natsir, saat menjadi perdana menteri (1950-1951), pernah kebingungan di Malaysia karena tidak memiliki uang untuk pulang ke Indonesia. Soekarno tetap hidup sederhana meskipun ia Presiden dengan pangkat Panglima Besar Revolusi. Saat membeli lukisan, tidak jarang dia berutang dan membayarnya dengan cara menyicil. Di penghujung jabatannya, untuk membeli rambutan pun, Bung Karno pernah meminjam uang kepada ajudan pribadinya, Putu Sugianitri.

Ketika menjabat sebagai wakil presiden, Bung Hatta punya keinginan yang sangat pantas. Ia bermimpi, kalau punya uang, ingin membeli sepatu Bally (produk buatan Swiss yang sampai kini dikenal sebagai merek barang supermewah). Bung Hatta menggunting iklan sepatu Bally yang ingin dibelinya itu dari sebuah harian yang terbit di Ibu Kota. Kliping iklan tersebut sengaja ia simpan supaya jika kelak punya uang, Bung Hatta langsung ke toko untuk mewujudkan impiannya. Siapa sangka, Bung Hatta tidak dapat memakai sepatu Bally impiannya sampai ia tutup usia.

Sutan Syahrir gemar mendengarkan lagu-lagu Belanda dengan megaphone yang suaranya terdengar ke seantero Pulau Banda (saat ia dan beberapa tokoh pergerakan Indonesia diasingkan oleh Belanda di sana). Bung Karno kerap menggunakan istilah Belanda (atau bahasa asing) ketika berpidato. Sama dengan Bung Hatta, yang saat tidur pun, mengigau dengan bahasa Belanda.

Mereka semua "produk" pendidikan Eropa. Namun ajaibnya, semangat dan dedikasi untuk bangsa dan rakyat Indonesia tetap terjaga hingga ke penghujung hidup mereka. Bung Hatta bahkan berjanji untuk tidak akan menikah sebelum Indonesia merdeka. (Mohon maaf, bandingkan dengan generasi sesudah mereka yang begitu kebarat-baratan meski hanya "belajar" tentang Barat dari televisi).

Apakah televisi pernah menuturkan kisah seperti ini kepada kita? Dengan kekuatan audio visualnya, televisi seharusnya berperan sebagai penyampai semangat dari zaman sebelumnya. Mengisahkan kembali dedikasi para bapak bangsa. Cita-cita mereka. Pengorbanan mereka. Nilai-nilai yang mereka anut agar menjadi panutan. Televisi seharusnya dapat menjadi mesin untuk melawan lupa kita pada sejarah.

Strategi Audio Visual

Menurut catatan resmi, hingga Amerika Serikat (AS) angkat kaki dari Vietnam tahun 1975, Washington telah mengirim total 3,3 juta tentara. Dari jumlah tersebut, sekitar 57.000 orang tewas, 300.000 cedera/cacat, sekitar 700 ditawan, dan lebih kurang 5.000 orang hilang. Fakta ini tidak diketahui oleh semua orang di dunia. Karena ketika perang Vietnam berkecamuk, media Barat bias dan pro pada kepentingan AS.

AS adalah contoh negara yang pandai memanfaatkan audio visual (televisi dan film) sebagai medium untuk membangkitkan nasionalisme publik dalam negeri. Juga membentuk mimpi Amerika (American Dream) publik dunia. Banyak liputan berita dan film yang dengan sengaja didanai atau disponsori oleh negara untuk tujuan propaganda. Sebut saja film "Top Gun", "Star Wars", "Broken Arrow", "Black Hawk Down", atau "Pearl Harbor".

Kita juga mungkin masih ingat kontroversi film "300" beberapa bulan lalu. Film ini berkisah tentang 300 tentara Sparta Yunani mengalahkan ratusan ribu tentara Persia. Persia adalah induk budaya Iran, negara yang sekarang sedang menjadi sasaran tembak baru AS di Timur Tengah. Sebelum AS benar-benar menghajar Iran, Hollywood diutus untuk menggambarkan Persia sebagai peradaban barbar yang layak jika kemudian dimusnahkan. Dan itu terlukis dengan apik dalam film "300".

Sebelum menyerang Afghanistan dan Irak, media AS terlebih dahulu memberi cap "bandit" pada Osama bin Laden dan Saddam Husein. Bush pun kemudian mendapat angin untuk meluluhlantakkan kedua negara tersebut. Meski dengan tindakan sebrutal itu, CNN dan sejumlah televisi AS tidak pernah member label "Penjahat Perang" kepada Bush karena telah melakukan kejahatan atas kemanusiaan di Afganistan dan Irak.

Bercermin dari itu semua, tampak bahwa Indonesia belum memiliki strategi audio visual sebagai sebuah bangsa. Video clip lagu "Bendera" (dari group Coklat), dapat menjadi awal yang baik untuk menularkan kecintaan pada bangsa ke generasi muda. Semangat patriotik sangat terasa dalam lagu ini. Sayangnya, ia hanya muncul sehari di televisi ketika 17 Agustus lalu.

Kita membutuhkan program televisi yang mengawal nasionalisme secara utuh. Bukan nasionalisme dadakan yang surut ketika pemicunya reda. Seperti hanya ketika Menteri Senior Singapura Lee Kuan Yew melecehkan Indonesia. Atau ketika Ketua Tim Wasit Karate Indonesia dikeroyok oleh oknum Polisi Malaysia. Televisi harus mengambil peran dalam menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang bersatu dan kuat. Bangsa yang bermartabat dan disegani.

Terkadang saya ingin melihat di televisi Indonesia, tampil pemimpin yang memukau seperti Bung Karno. Yang membangkitkan nyali kita sebagai bangsa yang besar. Pemimpin yang dengan tegas menolak bantuan luar negeri demi harga diri bangsa. Yang dengan gagah berani melawan dominasi AS dan keluar dari PBB. Yang dengan lantang pernah berkata: "Ganyang Malaysia!"***

Labels: