Friday, October 10, 2014

Perlawanan Relawan Marx



ADA makar tahun 1965. Mudah-mudahan bangsa ini belum lupa pada Revolusi Oktober yang mengubah sejarah Indonesia. Memang, sebelum Reformasi 1998 menggema, di setiap akhir bulan September film “Pengkhianatan G30S/PKI” tayang di televisi nasional. Sinema karya Arifin C Noer (1981) ini lebih bercita rasa propaganda daripada sebuah ‘alarm’ pengingat.

Film dan semua wacana yang tercipta ketika Orde Baru masih berkuasa, lebih serupa ritual mengenang ‘kepahlawanan’ Suharto dalam menumpas Gerakan 30 September (G30S). Sekaligus penegasan bahwa Partai Komunis Indonesia (PKI) adalah dalang di balik peristiwa pembunuhan para jenderal Angkatan Darat.

Tulisan ini tidak bermaksud memaparkan kembali beberapa versi tentang peristiwa G30S yang kemudian muncul. Tetapi jauh ke belakang, ingin melihat sekilas tumbuhnya komunisme di Indonesia pada masa awalnya. Membeberkan beberapa tokoh serta cara mereka menggunakan media massa, khususnya surat kabar dalam mengobarkan aksi perlawanan rakyat.

TOKOH

Karl Marx adalah adalah tokoh yang selalu dikaitkan dengan komunisme. Secara ide, mungkin betul. Apalagi jika dibuktikan dengan dokumen “Manifesto Komunis” yang ditulisnya bersama Engels dan terbit tahun 1848. Namun itu sebatas ide. Tidak dapat diaplikasikan. Terlalu konseptual dan mengawang-awang.

Tokoh yang justru berperan dalam mewujudkan ide komunisme itu adalah Lenin. Untuk membedakannya dengan ‘hasil kerja’ Marx, komunisme biasanya juga disebut Marxisme Leninisme. Ia berhasil menerjemahkan ideologi Marx itu menjadi tindakan radikal. Pada 1917 Lenin menggulingkan kekaisaran Rusia.

Revolusi di Rusia ini menginspirasi Henk Sneevliet. Ia adalah tokoh yang disebut-sebut sebagai pembawa ideologi komunis dari Belanda (tiba di Indonesia sekitar Februari 1913). Setelah lama mengkampanyekan komunisme, Sneevliet kemudian menemukan momen yang tepat dan menulis artikel berjudul “Kemenangan” (Zegepraal).

Dalam tulisan tersebut Sneevliet mengajak kaum buruh di Hindia Belanda untuk bangkit melawan kolonialisme. Tulisannya diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu oleh seorang tokoh pergerakan Indonesia bernama Darnakoesoemo. Tulisan itu terbit (kembali) di harian “Pertimbangan” edisi 22 Maret 1917.

Sneevliet menulis: “Wahai rakyat di Jawa, Revolusi Rusia juga merupakan pelajaran bagimu. Juga rakyat Rusia berabad-abad mengalami penindasan tanpa perlawanan, miskin dan buta huruf seperti kau. Bangsa Rusia pun memenangkan kejayaan hanya dengan perjuangan terus-menerus melawan pemerintahan paksa yang menyesatkan”.

Karena artikel ini, Sneevliet kemudian diadili di Semarang pada 20 November 1917. Dalam persidangan yang alot, hakim membebaskan Sneevliet dari tuduhan menyebarluaskan hasutan kebencian kepada pemerintah. Upaya banding jaksa ke Pengadilan Batavia (Jakarta) pun tidak dapat memenjarakan Sneevliet.

Sepulang dari sidang banding di Batavia tersebut, harian “De Locomotief” edisi 6 April 1918 menggambarkan euforia warga  menyambut Sneevliet di stasiun Semarang. Sneevliet dikelilingi ribuan pribumi yang riuh kegirangan, mengusung Sneevliet ke pundak mereka, kemudian memanggulnya menuju pintu keluar. Mereka berteriak serempak: “Hidup Sneevliet! Hidup Sneevliet!”.

Bukannya melunak, selepas dari persidangan di Batavia, tulisan Sneevliet makin garang. Ia terus menulis di “Het Vrije Woord”. Koran berbahasa Belanda yang ia dirikan sejak Oktober 1915. Dua tahun kemudian, surat kabar ini terbit juga dalam versi Melayu. Terganggu dengan agitasi Sneevliet, Gubernur Jenderal Belanda menggunakan hak istimewanya. Pada 20 Desember 1918 Sneevliet dibuang ke Shanghai, Cina.

RADIKALISME

Sebelum diasingkan, tahun 1915 Sneevliet sempat bertemu Semaoen dan membesarkan ISDV (Indische Sociaal-Democratische Vereeniging atau Persatuan Sosial Demokrat Hindia Belanda). Tidak sulit bagi Semaoen untuk menjaring pengikut. Sebagai orang yang juga menjabat Ketua Sarekat Islam (SI) Semarang, dia memiliki massa dan pengaruh. Semaoen berhasil membentuk “faksi merah" di tubuh SI dan menggembosinya. Atas saran Sneevliet di pengasingan, Mei 1920 Semaoen kemudian mendeklarasikan ISDV sebagai Partai Komunis Indonesia (PKI).

Sebelum memimpin partai, Semaoen sebenarnya juga mengelola dua surat kabar. Pertama, bernama “Si Tetap” yang menjadi media Serikat Buruh Kereta Api dan Trem di Semarang. Kedua, surat kabar “Sinar Djawa” yang pada Mei 1918 berganti nama menjadi “Sinar Hindia”. Ia dibantu oleh Mas Marco Kartodikromo, seorang wartawan dengan visi radikal yang sama. Marco bergabung dengan PKI pada 1923. Selain menjadi redaktur di “Sinar Hindia”, Marco juga mendirikan surat kabar “Hidoep” untuk mengorganisir petani-petani.

Bila merefleksikannya ke keadaan terkini, mungkin saja Indonesia sedang mengulangi sebuah fase yang sama dalam sejarah. Pemilik dan pengelola media terlibat langsung dalam praktik politik dan saling berebut pengaruh. Bedanya, pada masa awal kemerdekaan surat kabar digunakan sebagai corong ideologi dan setelah hampir 70 tahun merdeka, media digunakan sebagai alat agitasi untuk memperoleh kekuasaan.

Kembali ke wacana komunisme, Semaoen tidak lama memimpin PKI. September 1923 dia ditahan dan diusir karena dianggap bertanggung jawab atas aksi pemogokan buruh kereta api. Semaoen dibuang ke Belanda. Dari Amsterdam, ia bermukim di Moskow. PKI kemudian dipimpin oleh Tan Malaka —tetapi hanya sebentar, lalu berpindah tangan ke Musso.

Musso inilah yang dua kali ‘memimpin’ aksi pemberontakan. Pertama, melawan Belanda pada 12 November 1926. Meski tanpa persetujuan Tan Malaka, ia menggerakkan massa di Jawa Barat, Banten, dan Batavia (Jakarta). Lalu pada Januari 1927 di Silungkang, Sumatera Barat. Dua gelombang aksi ini dengan cepat ditumpas Belanda. Musso berhasil melarikan diri ke Moskow.

Kedua, pemberontakan atas pemerintahan Sukarno. Sekembali dari Moskow, 18 September 1948 Musso memproklamirkan Negara Republik Soviet Indonesia di kota Madiun. Padahal sebulan sebelumnya, Musso dan Sukarno masih berpelukan dan berbincang akrab di Istana Negara. Meski dua sekawan ini sama-sama murid HOS Tjokroaminoto, tampaknya Musso selalu tergoda untuk menempuh jalan radikal.***


Aswan Zanynu
about | twitter

Labels: