Tuesday, August 01, 2006

Wajah Yuridis TV Kabel

TELEVISI kabel memiliki dua wajah: pragmatis dan yuridis. Umumnya kita lebih sering bersentuhan dengan wajah pragmatisnya. Menarik dan memberi kepuasan bagi siapa saja yang menatapnya. Selain itu, lebih hemat. Tidak perlu mengeluarkan uang yang banyak untuk membeli parabola. Cukup dengan membayar biaya pemasangan dan iuran bulanan secukupnya, orang-orang sudah dapat menikmati sejumlah saluran televisi. Dari perspektif ini, kita hampir sepakat: tv kabel bermanfaat!

Namun ada sisi lain yang jarang dilirik oleh publik. Yaitu wajah yuridis tv kabel. Di bagian ini, tidak sedikit menyimpan problematika hukum yang harus segera diselesaikan. Setidaknya sisi yuridis ini muncul dalam pemberitaan Kendari Ekspres edisi Senin, 17 April 2006: "Pengusaha TV Kabel Diajak Kerjasama". Tv kabel Lakamali Baubau, 'diboikot' oleh rekan-rekan seprofesinya yang lebih dulu menggeluti bisnis ini.

Dari diskusi di lapangan, saya menemukan bahwa penolakan pengusaha tv kabel yang lama kepada sang pendatang baru ini, lebih disebabkan oleh cara-cara ekspansi bisnisnya yang dinilai tidak elegan dan dapat mematikan usaha para pemain lama. Misalnya dengan memberi fasilitas gratis pemasangan dan iuran selama jangka waktu tertentu. Meskipun hal ini dibantah oleh si pendatang baru. Wallahu a'lam.

Masalah seperti ini sudah pernah pula terjadi di Raha. Bermula dari klaim wilayah layanan tv kabel. Hingga kemudian menjurus pada tindakan kriminal dengan melakukan sabotase (pemotongan kabel). Salah satu pihak yang bersengketa menjadi korban. Meskipun kita tidak berharap ini akan terulang lagi, namun peluang munculnya sengketa yang sama tetap ada.

Lalu di mana letak problematika yudirisnya? Ternyata masalah tersebut, setidaknya, punya hubungan dengan UU Penyiaran (No.32 tahun 2002), UU Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (No.5 tahun 1999), UU Perlindungan Konsumen (No.8 tahun 1999), serta UU Hak Cipta (No.19 tahun 2002).

IPP dan Hak Siar

Apakah tv kabel dapat dikategorikan sebagai lembaga penyiaran hingga perlu merujuk pada UU Penyiaran? Jawabannya: iya! Karena tv kabel melakukan "kegiatan pemancarluasan siaran". Secara khusus, tv kabel masuk kategori lembaga penyiaran berlangganan melalui kabel (UU Penyiaran pasal 26 ayat 1 huruf a).

Menurut UU Penyiaran, sebelum lembaga penyiaran yang melakukan kegiatan penyiaran, harus terlebih dahulu memiliki izin penyelenggaraan penyiaran (IPP). Bagaimana kalau lembaga penyiaran tersebut telah ada sebelum UU Penyiaran lahir? Jika demikian, lembaga tersebut harus segera menyesuaikan diri dengan melakukan pendaftaran ulang. Pengurusan IPP diajukan kepada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Daerah atau KPID. Namun bila KPID di suatu daerah belum ada, pengurusan IPP ditujukan kepada KPI Pusat di Jakarta.

Beberapa pengusaha tv kabel, mungkin sudah merasa cukup bila telah mengantongi sejumlah izin seperti Surat Izin Tempat Usaha (SITU) atau Surat Izin Usaha (SIU). Padahal merujuk UU Penyiaran, izin-izin tersebut baru merupakan bagian kecil dari keseluruhan kelengkapan administrasi yang harus dimiliki sebelum sebuah lembaga penyiaran memperoleh IPP.

Sekedar mengingatkan, UU Penyiaran pasal 58 huruf b menyebut bagi lembaga penyiaran tv yang melakukan kegiatan tanpa IPP, diancam pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000 (lima miliar rupiah).

Hal yang kerap diabaikan pula adalah apa yang disebut sebagai "hak siar". Setiap lembaga penyiaran harus mengantongi hak siar atas segala program yang disiarkannya (UU Penyiaran pasal 43 ayat 1). Hak siar adalah "hak yang dimiliki lembaga penyiaran untuk menyiarkan program atau acara tertentu yang diperoleh secara sah dari pemilik hak cipta atau penciptanya". Pada titik ini lembaga penyiaran mesti mencermati pula isi UU Hak Cipta (No.19 tahun 2002).

Bukankah hak siar sudah dikantongi oleh tv swasta nasional atau tv berlangganan nasional? Jadi tv kabel cukup menyebarluaskannya saja. Tetapi perlu diingat, hak siar tersebut tidak dapat dipindahtangankan secara otomatis. Jika sebuah stasiun televisi telah memiliki hak siar atas program acara X, berarti dia berhak untuk menyebarluaskan program acara X tersebut. Namun bila sebuah tv kabel ingin menyebarluaskan acara X tadi, dia juga harus memiliki hak siar atas program tersebut juga.

Fenomena yang tampak selama ini, tv kabel cukup memiliki perangkat parabola dan sejumlah alat pengantar ke para pelanggan. Acara tv langsung dapat dinikmati. Program acara tersebut dapat peroleh langsung dari angkasa (dengan mengarahkan parabola), atau melalui perangkat yang disediakan tv berlangganan seperti Indovision. Kita lupa bahwa siaran yang diterima tersebut untuk tujuan konsumsi pribadi (privat), bukan untuk dikomersilkan.

Kebijakan angkasa terbuka (open sky policy) yang ambil pemerintah dan memungkinkan kita menerima siaran melalui parabola, dimaksudkan untuk tujuan privat. Bukan komersil. Demikian pula yang siaran yang diterima melalui tv berlangganan nasional seperti Indovision. Hak siar ini sesungguhnya bisa dimiliki bila tv kabel membuat kerjasama bisnis dengan tv nasional atau tv berlangganan yang dipancarteruskannya.

Monopoli dan Konsumen

Dalam UU No.5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, monopoli didefinisikan sebagai: "penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha" (pasal 1 huruf a). Jika tidak berhati-hati, upaya untuk menolak dan/atau menghalangi pelaku usaha baru untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan dapat dikenai tuduhan sebagai upaya monopoli (UU No.5/1999 pasal 19 huruf a).

Namun perlu pula diingat, pasal 21 UU ini juga menyatakan: "Pelaku usaha dilarang melakukan kecurangan dalam menetapkan biaya produksi dan biaya lainnya yang menjadi bagian dari komponen harga barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat". Jadi pelaku usaha juga mesti waspada dalam menggunakan harga sebagai instrumen promosi.

Pelanggaran pasal 19 diancam diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp 25.000.000.000 (dua puluh lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp 100.000.000.000 (seratus miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 6 (enam) bulan. Sedangkan pelanggaran pasal 21 diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp 5.000.000.000 (lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp 25.000.000.000 (dua puluh lima miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 5 (lima) bulan.

Terlepas dari aspek penyiaran, hak cipta, dan praktik monompoli, yang perlu dicermati pula bahwa konsumen memiliki hak-hak yang harus dipatuhi oleh penyedia jasa penyiaran. Dalam pasal 4 huruf b UU Perlindungan Konsumen (No.8 tahun 1999) disebutkan bahwa konsumen berhak untuk "memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan".

Konsumen juga harus dilindungi dari trik promosi lewat harga. Misalnya, pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan suatu barang dan/atau jasa dengan harga atau tarif khusus dalam waktu dan jumlah tertentu, jika pelaku usaha tersebut tidak bermaksud untuk melaksanakannya sesuai dengan waktu dan jumlah yang ditawarkan atau dipromosikan (UU Perlindungan Konsumen pasal 12).

Akhir kata, tulisan ini tidak bertendensi untuk menyalahkan siapa-siapa. Acuan-acuan hukum yang dipaparkan semata-mata bertujuan untuk 'mempercantik' wajah yuridis tv kabel. Agar elok dan mengesankan bila dipandang.***

Labels: