Monday, November 10, 2008

Jurnalis atau Politisi?

DALAM Pemilu 2009, (sedikitnya) ada sekitar 120 wartawan atau mantan wartawan ikut bertarung dengan calon anggota legislatif lainnya. Begitu tulis Ignatius Haryanto dalam opininya yang dimuat harian Kompas (7/11/2008). Ini fenomena menarik. Berbeda dengan selebriti yang mengandalkan ketenaran dan citra dirinya, jurnalis memiliki keahlian dan peran yang signifikan dalam komunikasi politik. Seperti apakah peran dan “kekuasaan” mereka?

Disadari atau tidak, wartawan sebenarnya telah menjadi komunikator politik. Sama halnya dengan para politisi. Dengan profesi yang digelutinya, wartawan menjadi penyampai pesan-pesan politik dari elit kepada masyarakat. Demikian pula sebaliknya. Mereka bahkan memiliki kekuasaan untuk mengendalikan dan mengarahkan opini publik. Sesuatu yang tidak dapat dimainkan secara langsung oleh para politisi.

Komunikator Politik

Leonard W Doob mengidentifikasi tiga kelompok besar komunikator politik: (1) politisi yang bertindak sebagai komunikator politik, (2) komunikator profesional, dan (3) aktivis atau komunikator paruh waktu (part-time). Mereka inilah yang memiliki andil dalam kepemimpinan politik dan pembentukan opini publik. Wartawan berada dalam kelompok kedua: komunikator profesional. Mengapa mereka disebut sebagai “komunikator profesional”?

Pertama, karena mereka mencari nafkah dengan berkomuniksi (baik di dalam maupun di luar politik). Berbeda dengan para politisi yang hidup dari aktifitas politik yang mereka lakukan. Kedua, wartawan memiliki keahlian khusus dalam mengelola simbol-simbol komunikasi. James Carey menyebut mereka sebagai “makelar simbol”, yaitu orang yang menerjemahkan sikap, pengetahuan, dan minat suatu komunitas bahasa ke dalam istilah-istilah komunitas bahasa yang berbeda, tetapi menarik dan dapat dimengerti. Ketiga, dengan keahlian ini, jurnalis kemudian menjadi semacam “penghubung” orang-orang yang terlibat dalam komunikasi politik.

Mereka menjadi penghubung para elit politik untuk dapat berbicara satu sama lain. Misalnya, saat seorang anggota legislatif mengetahui keadaan di suatu departemen melalui pemberitaan di koran yang memuat pernyataan sang menteri. Jurnalis dapat menjadi penghubung antara elit politik dengan masyarakat. Contohnya, saat publik menonton di televisi kegiatan yang dilakukan oleh presiden juga para legislator. Atau wartawan juga dapat mengambil peran sebagai penghubung masyarakat dengan elit seperti saat memberitakan keadaan atau tuntutan warga.

Dari tiga jabaran peran penghubung ini, Maxwell, McCombs, dan Shaw menambahkan satu alasan lagi yang menyebabkan wartawan disebut sebagai komunikator profesional. Mereka menempatkan masalah dan peristiwa tertentu dalam agenda diskusi publik. Inilah yang kemudian menjadi cikal bakal wacana yang akan membentuk opini publik.

Opini Publik

Banyak pakar yang telah mendefinisikan “opini publik”. Dalam konteks ini pendapat Arthur Kornhouser tampaknya relevan untuk dikemukakan. Ia melihat pendapat umum sebagai pandangan dan perasaan yang sedang hidup di kalangan rakyat tertentu, pada saat tertentu, mengenai setiap isu yang menarik perhatian mereka.

Dalam politik, opini publik sangatlah penting. Bahkan untuk sistem otoriter seperti yang diimpikan Machiavelli. Ini dapat kita temukan dalam salah satu karyanya yang terkenal: “Discourses” (Wacana). Pemikir demokrasi seperti Rousseau juga mengedepankan pentingnya opini publik. Menurutnya, semua pemerintahan pada dasarnya terletak pada pendapat, bukannya pada hukum atau paksaan dan dalam suatu perubahan sosial, pemerintah tidak boleh terlampau jauh di depan pendapat rakyat.

Melalui instrumen berita, editorial, atau diskusi yang disiarkan melalui media elektronik (talk show), jurnalis memiliki andil dalam memilih dan menempatkan sejumlah isu ke dalam agenda media. Dengan kekuatan media massa, hal-hal yang awalnya (hanya) menjadi agenda media, kemudian menjadi agenda publik. Inilah yang lalu membentuk apa yang disebut sebagai opini publik.

Bagitu banyak isu politik yang berkembang di masyarakat, wartawan (dengan “kekuasaannya”) hanya memilih isu-isu tertentu. Konsekuensinya, beberapa isu lain terabaikan. Setelah memilih isu tersebut, mereka mengemasnya dalam format dan sudut pandang tertentu pula.

Tidak sampai di situ saja, mereka juga memberi derajat penekanan yang berbeda-beda atas setiap isu. Misalnya ada isu yang diangkat menjadi berita utama (headline) dan dipublikasikan dengan frekuensi dan intensitas yang tinggi. Sementara isu lain, disajikan secara moderat atau rendah.

Untuk konteks nasional di akhir 2008 misalnya, berita eksekusi Amrozi, Mukhlas, dan Imam Samudra lebih menjadi penekanan para jurnalis. Mungkin karena lebih dramatis dibandingkan dengan fluktuasi nilai rupiah. Atau dalam kasus lain: Undang-undang Pornografi. Kecenderungan wartawan justu meliputnya dari sudut pandang mereka yang menolak. Mereka yang menerima, seolah dibungkam. Inilah contoh “kekuasaan” para jurnalis. Untuk konteks politik lokal, kekuasaan ini lebih tampak.

Terkadang, isu yang sebenarnya tidak politis, karena diangkat menjadi agenda media, ia dapat menjadi politis. Awal tahun 2008 di Kota Kendari, walikota yang baru, memerintahkan pembersihan pasar dari lapak-lapak pedagang kaki lima. Ini peristiwa sosial biasa. Namun, melalui pemberitaan yang “dipilih” oleh para jurnalis, ia kemudian lebih terasa sebagai sebuah isu politik.

Ilmuwan seperti Bernard C Cohen melihat para pelaku politik cenderung mempercayai bahwa media massa (tempat para jurnalis bekerja) mempunyai kemampuan untuk mengetahui “pikiran masyarakat” Dalam kenyataannya, banyak pejabat yang memperlakukan pers dan pendapat umum sebagai sesuatu yang sama (sinonim), baik secara terang-terangan mempersamakannya, atau menggunakannya secara bergantian.

Tampaknya, betapapun penting peran wartawan dalam opini publik, itu belumlah cukup. Setidaknya bagi mereka yang ingin beralih peran menjadi politisi. Dengan sistem politik di mana oligarki partai politik begitu kuat seperti di Indonesia, ada kekhawatiran para jurnalis, seperti halnya selebriti, hanya akan menjadi pion-pion kekuasaan. Mereka akan masuk dan menjadi bagian dari sebuah kelompok elit eksklusif yang melihat segalanya dari kacamata kepentingan partai yang parsial. Ironi, namun ini sulit untuk dihindari.***

Labels: