Friday, September 30, 2016

G30S dalam Pemberitaan Tiongkok*

Peking/Beijing 1965

HAMPIR tiga dekade label “dalang” Gerakan 30 September (G30S) melekat pada Tiongkok. Sedikitnya ada tiga alasan yang bisa jadi mendasarinya. Pertama, ide dan bantuan senjata yang dijanjikan Peking terkait Angkatan ke-5 pada awal 1965. Kedua, keterlibatan tenaga medis Tiongkok dalam penanganan kesehatan Presiden Soekarno di mana kala itu kondisi aktualnya ada dalam saku Tiongkok. Ketiga, kedekatan Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan Partai Komunis Tiongkok (PKT).

Tulisan ini ingin mengulas pemberitaan media cetak di Tiongkok dalam melihat peristiwa G30S. Baba Kimihiko (2016) meneliti dua media cetak yang merupakan corong pemerintah Tiongkok: “Renmin Ribao” dan “Beijing Zhoubao”. Konteks saat itu juga dihadirkan untuk melengkapi pemahaman atas berita yang diturunkan.

BERITA 

Tidak mudah bagi reporter Tiongkok untuk mewartakan G30S. Kantor berita “Xinhua” yang berada di Jakarta, sempat diduduki oleh Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI). Selain kantor berita tersebut, mereka mengandalkan suratkabar “Suluh Marhaen”. Koran yang anti-komunis seperti kantor berita “Antara”, suratkabar “Angkatan Bersenjata”, “Api Pancasila”, “Sinar Harapan”, dan lainnya juga menjadi rujukan.

Sejak awal media Tiongkok membantah keterlibatan negaranya dalam G30S sebagimana yang dituduhkan militer Indonesia. Mereka malah mengendus kehadiran Amerika Serikat. Ini mulai terlihat dari berita “Beijing Zhoubao” pada 26 April 1966 yang memuat pernyataan Duta Besar Indonesia untuk Tiongkok yang mengundurkan diri dengan alasan wakil CIA (agen intelijen Amerika Serikat) telah memutar politik Indonesia ke arah kanan dan menimbulkan musibah besar di Indonesia. Pada akhirnya di edisi 28 Juni 1970, “Renmin Ribao” secara tegas menyebut kelompok fasis yang dimimpin Soeharto mengadakan kudeta dengan dukungan CIA.

Selain interpretasi politik, sorotan berita juga difokuskan pada serangan atas penduduk keturunan Tionghoa yang berjumlah 2,7 juta dan perlawanan yang mereka lakukan. Perang gerilya terjadi di Sambas pada Agustus 1967 dan Singkawang pada Oktober 1967. Aksi di Kalimantan tersebut menyebar ke Sumatera Utara dan Selatan; Jawa Timur, Barat, dan Tengah; juga Sulawesi Selatan dan Utara.

Berita-berita tadi sekaligus mengubah kesan bahwa pasca-G30S semua korban yang jatuh adalah hasil dari serangan sepihak (militer atau milisi anti-komunis). Apa yang diberitakan oleh suratkabar Tiongkok ini terkonfirmasi dalam pemberitaan suratkabar dan majalah Jepang yang diteliti oleh Kurasawa Aiko (2016).

Yang pasti, PKI tidak tersentuh dalam pemberitaan terkait G30S di media cetak Tiongkok. Dapat dipahami karena kedekatan PKI dengan PKT yang menjadi partai tunggal di Tiongkok. Meski saat berperan sebagai corong pemerintah, elit media Tiongkok setidaknya dapat membaca agenda besar yang akan dijalankan PKT juga PKI ketika itu. Telaah berita yang dilakukan Kimihiko (2016) pada akhirnya kembali menegaskan bahwa berita adalah refleksi kepentingan dan ideologi dominan.

KONTEKS

Setelah Perang Dunia Kedua, poros kekuatan dunia terpolarisasi menjadi Blok Timur dan Blok Barat. Presiden Soekarno ingin membentuk poros alternatif. Dia memobilisasi bangsa-bangsa Asia Afrika untuk bersatu dan membentuk kaukus tersendiri. Menariknya, meski juga berada di Asia, awalnya Indonesia melihat Tiongkok sebagai ancaman ketika negara itu berhasil melakukan uji coba nuklir pada 16 Oktober 1964. Sikap itu berbalik ketika Presiden Tiongkok membuka pintu untuk menjajaki alih teknologi nuklir kepada Indonesia. Bisa jadi Mao Zedong berkepentingan agar Soekarno menggiring negara-negara Asia Afrika ke poros Jakarta-Peking.

Bukti lain dari niat Tiongkok untuk ‘berkawan’ adalah kesanggupannya memberi bantuan senjata kepada buruh dan petani. Ide milisi rakyat yang muncul di awal 1965 ini kemudian dikenal dengan sebutan Angkatan ke-5. Dukungan tersebut menjadi hal yang menarik dicermati sebab menurut Asvi Warman Adam (2016), sebelum paruh kedua 1964 Tiongkok selalu menolak permintaan bantuan senjata yang diajukan Indonesia.

Analisis Taomo Zhou (2016) atas sejumlah dokumen Kementerian Luar Negeri Tiongkok menunjukkan dua hal yang ambigu atas bantuan tadi. Pertama, Tiongkok hanya mempersiapkan kurang dari 25 ribu pucuk senjata ringan, padahal mereka menjanjikan 100 ribu. Kedua, senjata tersebut tidak kunjung tiba di Indonesia sampai G30S meletus. Diperkirakan Tiongkok tidak tahu pasti kapan aksi yang direncanakan tersebut sebab 17 September 1965 masih terjadi pertemuan antara Perdana Menteri Tiongkok Zhou Enlai, Pemimpin Angkatan Udara Omar Dani, dan Duta Besar Indonesia Djawoto di Peking.


Tetapi ketidaktahuan hari H tadi menjadi naif mengingat pada 5 Agustus 1965 Pimpinan PKI DN Aidit telah bertemu dengan Presiden Tiongkok Mao Zedong dan menggambarkan dengan rinci rencana untuk melaksanakan aksinya (Zhou: 2016). Tidak seperti beberapa analis yang percaya Mao memerintahkan PKI untuk melancarkan aksinya, Zhou lebih moderat. Ia melihat Tiongkok memang menanam saham di politik Indonesia di era itu, tetapi tidak sebesar yang digambarkan selama ini. Apapun itu, sejarah menunjukkan bahwa perubahan besar yang terjadi di suatu negara dapat berawal dari sokongan (atau lampu hijau) negara lain.***

*opini ini terpublikasikan pada Sabtu, 1 Oktober 2016  di harian FAJAR, Makassar.

Aswan Zanynu

Labels:

Saturday, September 24, 2016

Media Baru dan Sensor Diri


SAAT berdiskusi tentang media baru, pada dasarnya kita membincangkan tiga hal sekaligus. Pertama, teknologi informasi dan komputer. Kedua, jaringan komunikasi yang secara teknis disebut internet (meskipun kemudian konsep internet itu sendiri kerap memiliki banyak makna tergantung konteks penggunaannya). Ketiga, konten media dan informasi yang terdigitalisasi. Ketiga unsur ini saling beririsan yang kemudian menyatu membentuk konvergensi. Konvergensi terjadi ketika informasi bersifat digital yang memungkinkan untuk diakses melalui sejumlah piranti media yang tersedia. Jenis apa saja, tidak terkecuali yang mudah dibawa seperti gawai (gadget).

YANG BARU

Mengapa disebut media baru? Bukannya teks yang kita baca adalah bentuk lain dari teks yang biasa kita jumpai di media cetak? Audio atau audio visual yang kita nikmati pun begitu, sebelumnya sudah disajikan oleh radio, film dan televisi. Lalu apa yang baru dari media media? Sedikitnya tiga hal yang baru: pengalaman, representasi, dan hubungan yang terjalin antara media dengan khalayaknya. Pengalaman yang dimaksud adalah interaksi yang dimungkinkan terjadi. Di media lama, komunikasi bersifat satu arah. Sementara di media baru, khalayak dapat menentukan dan mengkombinasikan sendiri jenis informasi apa yang ingin mereka konsumsi.

Representasi merujuk pada cara pesan memediasi suatu realitas. Simulasi virtual yang diciptakannya misalnya dalam game, betul-betul terlihat hidup. Suatu peristiwa juga dapat tersaji real time dan dapat diakses dalam genggaman. Media baru menawarkan cara baru dalam 'mengemas' dan 'menyajikan' realitas. Pada derajat tertentu, dunia virtual yang direpresentasikan media baru kerap disejajarkan dengan dunia nyata. Misalnya apa yang menjadi kecenderungan pengguna internet (netizen) tidak jarang disebut-sebut sebagai cerminan apa yang menjadi kecenderungan di dunia nyata. Meskipun hal tersebut tidak selamanya benar.

Yang terakhir kebaruan dalam arti hubungan yang terjadi antara media dan pengguna. Batas yang terbangun di media lama antara media (sebagai produsen) dan pengguna (sebagai konsumen) menjadi kabur. Media baru memungkinkan penggunanya untuk menjadi konsumen sekaligus produsen informasi (prosumen). Sifatnya yang partisipatif menjadi salah satu pembeda antara media lama dan media baru. Dalam konteks demokrasi, isu ini menjadi menarik karena setiap orang dapat terlibat dalam percakapan publik. Sayangnya, tidak ada media yang betul-betul bebas dari konsekuensi negatif. Selalu ada peluang terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan.

Memang tidak mudah meninventarisir media baru. Saat membincangkan media lama, kita dapat menyebut satu per satu janisnya: media cetak, radio, dan audio-visual (film dan televisi). Tetapi tidak demikian halnya dengan media baru. Perkembangannya begitu cepat yang tidak memungkinkan untuk melakukan pengkategorian yang ajek. Untuk menyederhanakannya, istilah media baru sering dipertukarpakaikan dengan internet. Meski sekali lagi, internet itu sendiri dapat memiliki makna yang berbeda tergantung di konteks mana istilah tersebut digunakan. Kata kuncinya, hemat saya, kembali lagi ke tiga unsur yang telah saya kemukakan pada paragraf awal tadi.

SENSOR DIRI

Media sosial adalah salah satu bentuk dari media baru. Secara sederhana media sosial dapat digambarkan sebagai media baru yang memungkinkan kita bersosialisasi. Setiap aplikasi media sosial memiliki fitur yang beragam untuk itu. Umumnya aplikasi tersebut menggabungkan format teks, foto, juga video dengan durasi pendek. Dan sebagai bentuk dari media baru, media sosial tetap membawa tiga karakter kebaruan tadi: pengalaman, representasi, dan hubungan sosial (yang baru) yang tidak ditemukan di dunia nyata.

Sebagaimana telah disinggung tadi, Karakter media baru yang seperti pedang bermata dua dan posisi khalayak sebagai prosumen, tidak jarang membawa konsekuensi yang tidak diharapkan. Tidak sedikit kasus kriminal termediasi melalui media sosial. Ada pula kasus pencemaran nama baik, penghinaan simbol negara atau daerah, hingga penistaan agama tersebar melalui media sosial. Begitu banyak hal buruk yang sebenarnya dapat dieliminasi seandainya para pengguna media sosial yang bertindak sebagai prosumen yang disiplin menerapkan sensor diri (self censor).

Sedikitnya ada tiga aspek yang dapat menjadi filter saat melakukan sensor diri atas informasi yang dikonsumsi atau diproduksi: kesantunan, otentikasi, dan identitas diri. Kesantunan melibatkan pertimbangan etis tidak etisnya suatu informasi untuk dikonsumsi, diproduksi, disebarluaskan, atau disebarteruskan. Parameter kesantunan ini tidak baku juga tidak kaku. Bisa berbeda di setiap budaya, kelompok sosial, jenis kelamin, bahkan usia. Meski demikian, tetap ada irisan-irisan kesepakatan tentang apa yang santun dan tidak. Kesantunan ini juga menyangkut isu privacy: batasan antara mana yang sifatnya pribadi dan publik.

Kedua, otentikasi. Seberapa besar kepercayaan kita atas informasi yang tersebar melalui media sosial?* Makin besar tingkat kepercayaan atas informasi tersebut, makin rendah daya kritis kita atasnya. Ini menghilangkan keinginan untuk melakukan otentikasi, verifikasi, atau hal-hal lain yang berkaitan untuk memastikan kebenaran sebuah informasi. Pengecekan yang paling mudah dilakukan adalah dengan memastikan sumber sebuah informasi. Kejelasan sumber dapat membantu kita untuk menakar tingkat kredibilitas sebuah informasi. Hal ini sekaligus menjadi bahan pertimbangan untuk menggunakan atau ikut menyebarteruskan informasi tersebut.

Ketiga, identitas diri. Ini berhubungan dengan bagaimana seseorang menampilkan identitas dirinya di media sosial. Apakah itu diri ideal, riil, semu atau palsu? Cara kita ingin dilihat oleh orang lain menjadi pertimbangan dalam menyeleksi pesan atau informasi seperti apa yang akan diproduksi atau dibagi. Tentu yang diharapkan setiap orang tampil dengan identitas aslinya (genuine) tetapi sekali lagi perlu diingat media sosial adalah media baru yang digunakan untuk bersosialisasi. Dengan kendali prosumen yang ada ditangan setiap orang, pengguna media sosial dapat menjadi seperti apa yang mereka inginkan.***


*) Saat menulis artikel ini, saya menemukan data yang menunjukkan 73 persen orang mempercayai apa yang mereka temukan melalui mesin pencari (search engine) di internet. Tapi saya tidak bisa mempertanggaungjawabkan itu karena tidak jelas siapa yang melakukan penelitian tersebut, termasuk metode yang digunakan.

Aswan Zanynu
about | twitter

Labels: