The News Maker: Obama!
MENGAPA Barack Obama menjadi buah bibir? Setelah berhasil lolos melawati pintu Partai Demokrat bersaingan dengan Hillary Clinton, ia dijagokan untuk menjadi presiden baru Amerika Serikat (AS) mengalahkan John McCain. Jika terpilih pada pemilu November 2008, mungkinkah Senator Negara Bagian Illinois ini akan membawa perubahan ke arah yang lebih baik untuk perdamaian dunia?
News Maker
Wacana politik AS dan dunia dibentuk oleh media massa (cetak dan elektronik, termasuk internet). Ilmuwan Komunikasi seperti Dan Nimmo menyebut media sebagai Komunikator Politik. Dalam bahasa sederhana, bila dipersonifikasikan, mereka seperti penutur (storyteller). Media hanya tertarik pada obyek yang memiliki sisi “yang berbeda” (karena hanya yang distingtif dapat memancing perhatian publik).
Pada titik ini Obama diuntungkan. Dari perspektif ilmu komunikasi, dia lebih banyak memiliki cerita “memukau”. Obama memiliki hampir semua kriteria nilai berita (news value) seperti: kebaruan, ketokohan, dan kontradiksi. Itulah yang menyebabkan ia terus menerus menjadi sorotan media (news maker).
Secara fisik saja, kulitnya yang tidak putih menjadikannya berbeda dengan calon presiden lainnya dalam sejarah AS. Dua tokoh kulit hitam AS menjadi pendukung kampanye Obama: Condoleezza Rice dan Oprah Winfrey. Condoleezza Rice adalah mantan Penasihat Keamanan dan saat ini menjabat sebagai Menlu AS. Sedangkan Oprah Winfrey merupakan presenter acara “The Oprah Show” yang telah mendunia.
Sadar atau tidak, Obama menjadi sosok pahlawan bagi warga kulit berwarna di AS. Maklum selama ini, mereka belum sepenuhnya mendapat perlakuan yang adil. Isu diskriminatif rasial seperti ini terakhir muncul saat Pemerintah AS dinilai lamban dalam menangani korban badai Katrina tahun 2005. Badai ini menerjang wilayah New Orleans, di negara bagian Louisiana yang mayoritas penduduknya berkulit hitam .
Ia juga dapat dilihat sebagai simbol kesetaraan. Ayahnya berasal dari Kenya. Meski ia sendiri tidak pernah bermukim di sana dan baru tiga kali mengunjungi negara Afrika tersebut. Tampilnya Obama, seolah memecah mitos bahwa hanya mereka yang berkulit putih saja yang dapat menjadi presiden.
Ada catatan menarik untuk ini. Walau AS di atas kertas mengagungkan kesetaraan, realitas sosial tidak selamanya demikian. Tahun 2000, Lieberman mengundurkan diri sebagai calon wakil presiden AS karena kuatnya penolakan publik atas dirinya yang berdarah Yahudi. Juga sudah menjadi semacam konsensus, presiden AS “harus” beragama Kristen Protestan. Sejarah mencatat, presiden AS yang beragama Kristen Katolik jumlahnya kurang dari 10 persen.
Selain “kebaruan” (calon presiden dengan kulit berwarna) dan “ketokohan” (simbol kesetaraan), cerita Obama juga memiliki nilai “kontradiksi”. Ini menarik bagi media. Usianya yang 46 tahun (bandingkan dengan McCain 72 tahun) mencitrakannya sebagai sosok yang “menjanjikan”. Termasuk dengan ide-ide ekonomi Obama yang boleh dibilang seratus delapan puluh derajat bertolak belakang dengan McCain.
Saat AS mengalami masalah keuangan seperti sekarang, issu ekonomi menjadi salah satu fokus perhatian media. McCain mengakui kelemahannya di bidang ini. Untuk aman, secara umum ia berencana melanjutkan kebijakan ekonomi Bush. Dengan kata lain, tidak akan ada hal yang betul-betul baru. Media tentu tidak akan menghabiskan waktu untuk mendiskusikan ide lama.
Jajak pendapat yang dilakukan oleh Washington Post dan ABC News menyebutkan 82 persen responden mengatakan, saat ini perekonomian AS berada di jalan yang salah (Gatra: 18 Juni 2008). Celah ini yang digunakan Obama untuk membuat perhatian terarah kepadanya. Ia fasih berbahasa ekonomi. Dalam beberapa kesempatan, pendapat yang keluar dari mulut Obama lebih mirip suara analis ekonomi berpengalaman ketimbang seorang senator atau bahkan calon presiden. Dia pun menjadi news maker.
Lobi Yahudi
Kemampuan Obama menarik perhatian media memberi keuntungan tersendiri bagi pembentukan citranya. Apakah popularitas ini dapat dimainkannya untuk perdamaian dunia, khususnya di Timur Tengah? Ini yang meragukan kita. Sebab sejak awal AS selalu menjalankan standar ganda dan tidak pernah menjadi penengah yang adil dalam konflik di sana.
Setelah dinyatakan menang sebagai calon presiden Amerika Serikat dari Partai Demokrat, Barack Obama menyatakan dukungan kuat untuk Israel dalam pidato kebijakan luar negerinya. Di hadapan kelompok lobi Yahudi di Amerika, American Israel Public Affairs Committee (AIPAC), Obama mengatakan keamanan Israel adalah hal yang “sakral” dan “tidak bisa dibantah”. Dia (juga) akan mengambil “segala” tindakan terhadap Iran untuk menghentikan negara itu memiliki senjata nuklir (BBC: 4 Juni 2008).
Sudah menjadi rahasia umum di AS, seorang kandidat presiden harus mendukung Israel. Jika tidak, bersiaplah untuk gugur di tengah jalan. Juga bukan rahasia lagi, hampir tidak ada politikus Partai Demokrat yang sukses tanpa dukungan kelompok Lobi Yahudi terkuat di AS itu. Termasuk dalam urusan dana kampanye. Washington Post pernah melaporkan, separuh dari dana kampenye Bill Clinton tahun 1996 berasal dari kaum Yahudi AS (Tempo: 22 Juni 2008).
Jika Obama terpilih, boleh jadi yang ada hanyalah kemenangan simbolik. Termasuk bagi Indonesia, tempat di mana Obama pernah mampir bersekolah di masa kecil. AS tetap akan menjadi menjadi bodyguard Israel dan berperilaku sebagai negara unilateral yang hanya mau menang sendiri. AS bukanlah teman apalagi sahabat. Seperti kata Soekarno, “Lebih baik ke neraka sendiri daripada ke surga berteman Amerika.” Obama atau siapa, sama saja! ***
Labels: Jurnalisme
3 Comments:
he...he...he....mudah-mudahan maksud obama dengan trik pro israel-nya lebih ditujukan untuk kepentingan memenangkan kursi presiden...
jadi saat jabatan presiden dipegang - obama memperlakukan israel secara obyektif...
dan otorita-nya diprioritaskan bener2 pada 'keseimbangan'...
sehingga obama tetap tokoh yg tidak lupa 'akar'nya
Semoga...Amin
yea...tidak ada yang tidak mungkin dalam politik.. di atas kertas, Obama masih lebih "menjanjikan" daripada McCain. taruhan, kalau Mba'Jolanda jadi warga AS, pasti milih Obama kan? hehehe...
betul banget...
saya pertama kali liat obama pas di acaranya oprah winfrey show
kan langsung ke yg berkait ama sisi personal-nya jadi terkesan juga gitu...
Post a Comment
<< Home