Korupsi: Melawan Eufemisme dan Pelaziman
DUA hari berturut-turut saya menonton
film omnibus “Kita versus Korupsi”. Film ini tayang perdana pada
akhir Juni 2012 lalu di Kendari (Sulawesi Tenggara). Tiap kali
menonton, entah mengapa saya tidak dapat menahan haru saat
menyaksikan film yang ketiga “Selamat Siang Rissa”. Meski tidak
mirip, film itu selalu mengingatkan saya pada Ayah. “Hasil suap itu
tidak akan pernah menjadi daging yang baik dalam tubuhmu,” suatu
saat katanya kepada kami. Suap itu akan menjadi nanah atau daging
yang busuk. Akan menjadi penyakit yang menggerogoti tubuhmu. Saat
memberi atau menerima suap, bersiaplah, karena dirimu yang akan
menjadi tumbalnya.
Korupsi
Tiap kita pasti punya pengalaman
sendiri atas korupsi. Bahkan mungkin punya definisi sendiri atasnya.
Versi Kamus Besar Bahasa Indonesia, korupsi adalah penyelewengan atau
penyalahgunaan uang negara (perusahaan dan sebagainya) untuk
keuntungan peribadi atau orang lain. Sementara koruptor digambarkan
sebagai orang yang melakukan korupsi, orang yang menyelewengkan
(menggelapkan) uang negara(perusahaan) tempat kerjanya. Sedikit
berbeda dengan apa yang didefinisikan kamus, film omnibus “Kita
versus Korupsi” mengkonstruksi ulang pemaknaan pada korupsi.
Di kisah yang pertama (Rumah Perkara),
korupsi ditunjukkan sebagai perbuatan menyalahgunakan kekuasaan untuk
kepentingan sendiri dan orang lain. Pada kisah kedua dan ketiga (Aku
Padamu dan Selamat Siang Rissa), korupsi digambarkan dengan perbuatan
memberi atau menerima sogok/suap. Sementara di cerita yang keempat
(Psttt… Jangan bilang siapa-siapa!), perbuatan seorang oknum guru
yang menjual buku dengan harga yang lebih mahal dengan jaminan nilai
yang baik bagi si murid, dideskripsikan sebagai korupsi. Sama seperti
ketika seorang anak dan ibunya menyebut pagu yang lebih tinggi saat
meminta uang pada si ayah/suami.
Pada dasarnya kata korupsi adalah buah
dari sebuah proses eufemisme. Kata tersebut dipilih untuk mengganti
ungkapan lain yang dirasa lebih kasar yang dinisbahkan para perilaku
negatif tertentu. Sebut saja seperti mencuri, menipu, memanipulasi,
menggelapkan, menyelewengkan, atau menyalahgunakan kekuasaan (yang
diamanahkan atas seseorang). Penghalusan atau eufemisme ini yang
menyebabkan seorang koruptor (pelaku korupsi) terkonstruksi berbeda
secara maknawai dalam persepsi publik jika dibandingkan dengan
seorang pencuri. Meskipun sejatinya mereka adalah sama. Film “Kita
versus Korupsi” berhasil membongkar eufemisme itu.
Selain itu, film ini juga berhasil
menunjukkan bahwa praktik korupsi begitu akrab dengan keseharian
kita. Korupsi tidak hanya terjadi di kantor pemerintah, di perusahaan
swasta juga ada. Tidak saja oleh pejabat, tetapi karyawan swasta pun
bisa. Tidak hanya orang tua atau mereka yang dewasa, remaja dan ibu
rumah tangga pun dapat melakukannya. “Kita versus Korupsi” ingin
menunjukkan bahwa praktik korupsi dapat terjadi di mana saja. Dan
siapa pun berpeluang untuk (dapat) melakukannya. Korupsi begitu
lazim.
Melawan
Film “Kita versus Korupsi”
menginspirasi untuk melawan korupsi dengan dua cara. Pertama,
menyadarkan publik bahwa korupsi itu hanyalah sebuah penghalusan
makna (eufemisme) untuk sebuah perilaku yang sejatinya sangatlah
hina. Korutor itu sama dengan pencuri. Korupsi sama dengan
menganiaya, menyiksa, bahkan membunuh orang lain. Koruptor itu hina
karena saat menerima suap, mereka dapat dibeli. Para pemberi suap pun
tidak lebih baik. Dengan memberi suap, mereka merusak tatanan sosial.
Kedua, karena kelazimannya, melawan
korupsi dapat dimulai dengan menunjukkan bahwa praktik itu tidak
seharusnya ada. Apa yang telah ada dan terus dipraktikkan
menjadikannya sebagai sebuah kelaziman. Kelaziman menciptakan sikap
permisif. Masyarakat akan menerima praktik korupsi sebagaimana
sesuatu yang boleh-boleh saja. Bahkan tidak menutup kemungkinan, pada
derajat tertentu, korupsi akan dianggap sebagai sebuah keharusan.
Pada tataran ini, cara pandang kolektif masyarakat harus diubah agar
tidak memberi ruang toleransi untuk praktik korupsi.
Di masa lalu ada buku semisal “Max
Havelaar” yang mampu menggugah kesadaran publik, bahkan dunia, akan
buruknya kolonialisme di Indonesia. Penulis Pramoedya Ananta Toer di
tahun 1999 menyebutnya sebagai buku yang membunuh kolonialisme.
Karangan Eduard Douwes Dekker ini terbit pertama kali pada 15 Mei
1860. Meski dibuat sebagai sebuah roman (fiksi), orang yang
membacanya kala itu tahu bahwa konteks di dalamnya adalah nyata.
Selain buku, ada pula film yang
menggugah kesadaran publik (dunia): An Inconvenient Truth. Survei
melalui internet di 47 negara yang dilakukan Nielsen menunjukkan, 89
persen dari mereka yang menontonya mengakui lebih peduli pada masalah
pemanasan global dan perubahan iklim. Bahkan 74 persen mengatakan
bahwa beberapa kebiasaan mereka berubah setelah menonton film yang
ditulis dan dibintangi mantan wakil presiden AS Al Gore tersebut.
Apapun bentuknya, buku atau film
sesungguhnya hanyalah kemasan. Medium yang memungkikan sebuah ide
dapat diterima dan mengubah cara pandang publik. Untuk konteks
anti-korupsi di Indonesia, kampanye penyadaran publik (public
awareness) dapat dilakukan siapa saja. Melalui medium apa saja.
Tulisan atau poster. Audio atau video (film). Tidak terkecuali dengan
praktik. Bahkan yang mungkin terlihat kecil: menolak memberi suap!
Kita tidak akan pernah tahu pesan mana
yang dapat mengubah kesadaran publik sampai kita membuatnya dan terus
membuatnya. Secara substansi, rujukan dari pesan kampanye penyadaran
publik sudah jelas. Tak perlu eufemisme, korupsi harus digambarkan
sebagai sebuah perbuatan hina. Pelaziman dan sikap permisif atas
korupsi tidak akan membawa kita pada hidup yang lebih baik.***
Labels: Film
1 Comments:
Corruption does come in many shapes so it is hard to define. But if an action offends the public perception of ethics, there is a good chance that corruption is involved.
The approval of a pulp mill project in Tasmania Australia was certainly corrupt; the company wrote the legislation that the government used to approve the project, police arrested peaceful protestors and government money was used to promote false information.
Less obvious acts are no lesser corruption as the acceptance of any corruption promotes it all as acceptable.
Post a Comment
<< Home