Wednesday, August 17, 2016

Membaca Ulang Agus Salim



SETIAP kali melihat ke belakang, momen Proklamasi selalu dikaitkan dengan letupan semangat kaum muda yang selalu kepingin bergerak cepat, melawan kaum tua yang lebih hati-hati. Dalam autobigrafi “Untuk Negeriku”, Hatta mengemukakan bahwa sebenarnya malam tanggal 15 Agustus 1945, ia sudah mengetik naskah Proklamasi yang esok paginya siap dibacakan dan dibagi-bagikan kepada anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Tapi hal ini ditentang oleh kaum muda.

Mereka ingin Proklamasi terjadi hari itu juga, sebelum pukul 24:00. “Bung Karno sendiri harus mengucapkannya di muka corong radio atas nama rakyat Indonesia” (h.77). Jangan dinyatakan oleh PPKI yang dikenal sebagai lembaga buatan Jepang. Para pemuda malah mengancam jika malam 15 Agustus itu tidak diproklamasikan kemerdekaan, besok pagi akan terjadi pembunuhan dan pertumpahan darah. Soekarno meradang. “Ini leherku, seretlah aku ke pojok sana, dan sudahilah nyawaku malam ini juga, jangan menunggu sampai besok” (h.79). Apa yang dikisahkan Hatta seperti drama genting di awal proklamasi. Kemana kelompok tua yang lainnya?

Mereka sebenarnya ada dan sejak akhir Mei 1945 telah mempersiapkan pilar-pilar bangsa, dasar negara dan konstitusi untuk Indonesia merdeka. Tapi narasi Proklamasi Kemerdekaan yang diingat kembali setiap tahun seolah hanya berkaitan dengan Soekarno-Hatta versus kelompok muda. Malah kemudian tereduksi menjadi Soekarno-Hatta saja. Ada satu tokoh tua yang juga berbagi andil untuk membidani lahirnya Indonesia. Namanya Haji Agus Salim. Dia tidak bisa selincah Soekarno, Hatta, Sjahrir dan kawan-kawan seangkatan mereka. Saat Indonesia merdeka, Agus Salim memasuki usia 61 tahun.

Jika melihat latar belakannya, hampir semua tokoh pergerakan Indonesia adalah jurnalis. Mereka bahkan adalah pemimpin redaksi koran berpengaruh di masanya. Agus Salim sendiri pernah ada di koran “Hindia Baroe”, “Neratja”, “Bendera Islam”, dan “Fadjar Asia”. Setiap koran yang ia mimpin seolah mewakili atmosfir ideologi yang sendang menyelimutinya. Di koran “Hindia Baroe” Agus Salim menunjukkan nasionalismenya yang kental. Tapi di tahun 1926 ia memilih mundur karena pemiliknya meminta agar Agus Salim lebih lunak kepada Belanda.

Di koran “Neratja” pemikiran Islam Agus Salim yang dominan dan ia masih tampil dengan gaya kepala batunya. Menolak subsidi Belanda yang akan membeli beberapa ribu eksempelar koran itu secara berkala, di setiap edisinya. Tapi dengan catatan, “Neratja” tidak menyerang kebijakan Belanda. Entah karena penolakan itu atau karena alasan lain, Agus Salim lalu diminta pemilik koran untuk tidak rangkap jabatan. Ketika itu dia juga aktif di Sarekat Islam (SI). Akhirnya dia memilih mundur dari “Neratja”.

Koran “Bendera Islam” yang berkedudukan di Yogyakarta tampaknya lebih nyaman buat Agus Salim. Idenya tentang Pan Islamisme mencolok. Itu terasa dari tulisan-tulisan yang dibuatnya. “Bendera Islam” secara resmi menjadi corong SI. Di sana ada petinggi  di Sarekat Islam (SI) seperti HOS Tjokroaminoto. Agus Salim dan Tjokroaminoto sering disebut sebagai dwitunggal. Dia yang kemudian menggantikan Tjokroaminoto untuk memimpin SI. Menggagas disiplin partai dan membersihkannya dari infiltrasi komunis. Sejarah mencatat bahwa pernah ada dua ‘warna’ di organisasi tersebut. SI Putih: berhaluan Islam, berkedudukan di Yogyakarta. SI Merah: berafiliasi komunis, berpusat di Semarang.

Ada cerita tentang kedekatan Tjokroaminoto dan Agus Salim. Tahun 1927 Agus Salim harus mengikuti suatu kongres Islam di Mekkah. Akan berangkat dengan menggunakan kapal bernama “Kongsi Tiga” dari pelabuhan Jakarta. Tapi hingga jadwal keberangkatan, dia masih tertahan di Surabaya. Urusan paspor belum selesai. Tanpa sepengetahuan Agus Salim, Tjokroaminoto mengirim telegram ke perwakilan kapal Jakarta. Isinya: Jika kapal berangkat tanpa Haji Agus Salim, tahun berikutnya tidak akan ada calon haji yang naik kapal “Kongsi Tiga”. Saat akhirnya tiba di Jakarta dan naik ke kapal, diadakan pesta penyambutan yang meriah. Sebagai orang biasa, Agus Salim terkejut dengan perlakuan khusus itu. Dia bertanya ke kapten kapal. Sang kapten menjawab: Tidak mungkin kapal ini menunda dua hari keberangkatannya hanya untuk menunggu orang biasa.

Buah dari kongres Islam di Mekkah tadi, Agus Salim berhasil meyakinkan Raja Saudi dan mendapat bantuan mendirikan koran “Fadjar Asia”. Koran ini gaungnya lebih luas. Tidak heran idenya tentang Pan Asia tercermin di sini. Liputan tentang tuan tanah Belanda yang memeras tenaga buruh dengan upah sangat murah di perkebunan Jawa, Sumatera dan Kalimantan, mengusik perhatian internasional. Distibusi koran “Fajar Asia” memang mencapai London, Den Haag, Moskow, Mesir, India, dan Cina. Karena tulisan itu Agus Salim kemudian diminta menjadi panelis pada Konferensi Buruh Sedunia di Jenewa. Padahal lazimnya konferensi tersebut diikuti oleh aktivis kiri.

Di konteks saat ini, membaca ulang sosok Agus Salim menunjukkan masih aktualnya sikap tegas untuk berkompromi atau tidak dengan kepentingan pemilik media, apalagi penguasa. Jurnalisme (juga media massa) memainkan peran strategis dalam membangun kesadaran berbangsa. Dulu Benedict Anderson menyebutnya “printed nationalism” atau nasionalisme yang tumbuh dari ide-ide tercetak. Sekarang nasionalisme tersebut tidak hanya tercetak, tetapi dapat disebarluaskan dalam beragam format isi media. Intinya bukan tentang tua atau muda, tapi tentang integritas. Setiap jurnalis atau pekerja media memiliki andil dalam menjaga ingatan kolektif dan menumbuhkan semangat untuk (terus) menjadi bangsa yang berdaulat. ***


Aswan Zanynu
about | twitter

Labels:

0 Comments:

Post a Comment

<< Home