Monday, October 31, 2011

Keluh Kesah Publik & Wartawan*




NADA suaranya terdengar marah bercampur kecewa. Seorang teman menghubungi saya via telepon. “Berita ini tidak adil,” katanya sambil menyebut nama sebuah koran lokal. Ia mengeluh karena berita yang muncul di media hanya menampilkan sisi buruk perusahaannya. Padahal telah ada pertemuan yang mereka lakukan dengan media itu untuk menjelaskan duduk persoalan tersebut. Tetapi tetap saja, media mengabaikan sisi positif dari kontribusi yang perusahaan mereka berikan.

Masih tentang keluhan seputar berita. Cerita lain datang dari seorang kawan wartawan. Saat ada berita yang menampilkan sisi buruk sebuah dinas, dia merasa diabaikan bahkan dikucilkan oleh pejabat dinas pemerintah tersebut. Sikap yang sama buruknya juga ia terima dari para aktivis. Ketika ada isu yang tidak tersaji dalam bentuk berita sebagaimana yang mereka inginkan, kawan wartawan tadi dicap sebagai “orang pemerintah” oleh para aktivis. Serba salah.

***

PUBLIK melihat berita dari perspektif pribadi mereka. Makin tinggi tingkat keterlibatan mereka pada satu isu atau peristiwa berita, makin besar pula daya kritisnya. Mereka yang ada di dalam lembaga pemerintah, misalnya, lebih tahu isu yang sedang berkembang di lingkungan internal mereka daripada apa yang diketahu publik melalui pemberitaan. Karena itu dapat dimengerti bila mereka lebih sensitif atas sebuah berita yang terkait dengan lembaga mereka.

Bila terjadi ketidakakuratan, publik berhak untuk melakukan koreksi. Menurut UU Pers, Hak Koreksi adalah hak setiap orang untuk membetulkan kekeliruan informasi yang diberikan pers baik tentang diri orang tersebut maupun tentan orang lain. Begitu pula jika ada pihak yang merasa nama baiknya tercemar dari sebuah pemberitaan. Seorang atau sekelompok orang tersebut memiliki Hak Jawab untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap berita tersebut. Hak Koreksi dan Hak Jawab ini diharapkan dapat menjadi alat kontrol masyarakat atas pers.

Pers diharapkan dapat mendidik publik untuk menyikapi sebuah pemberitaan dengan baik. Sudah saatnya publik juga tahu tentang bagaimana wartawan bekerja. Tidak hanya terbatas pada undang-undang saja, tapi juga sejumlah rambu dalam kode etik jurnalistik. Dengan rujukan ini, publik memantau dan berkontribusi pada perkembangan kinerja pers ke arah yang lebih konstruktif. Di atas kertas, pers ikut bertanggung jawab untuk itu semua.

Meski demikian, bukan kewajiban wartawan untuk menyajikan hal yang baik-baik saja dari apa yang terjadi di sekitar kita. Kalau semuanya berjalan baik-baik saja, tidak perlu ada pers. Tapi bukan berarti pers harus selalu menyajikan sisi negatif dari sebuah peristiwa atau isu. Aspek positif seperti prestasi yang didapat dari anggota atau sekelompok masyarakat, juga patut mendapat apresiasi. Bagaimana dengan prestasi pemerintah atau perusahaan? Tidak perlu. Karena sebagai lembaga, pemerintah dan perusahaan sudah memiliki “corong” sendiri untuk menyampaikan itu: Public Relation.

***

MENENTUKAN dan mengemas sebuah berita bukanlah perkara yang mudah. Para wartawan --termasuk yang pernah menjadi wartawan-- sangat paham akan hal ini. Memutuskan layak tidaknya sebuah peristiwa atau isu menjadi sebuah berita membutuhkan kepekaan yang tinggi. Wartawan harus memposisikan diri mereka sebagai pembaca, pendengar, atau penonton saat memilih berita. Termasuk saat menentukan news angle, dari sisi mana sebuah peristiwa atau isu ingin diulas. Mereka harus memastikan bahwa apa yang mereka sajikan itu penting dan menarik untuk disimak.

Pilihan yang salah hanya akan membuat apa yang mereka sebut sebagai “berita”, menjadi bahan cemoohan publik. Ini buruk karena bisa berdampak pada menurunnya perhatian dan kredibilitas media itu sendiri. Apakah kerja tersebut mudah? Tidak. Jika mudah, penjualan koran/majalah atau rating program acara berita tv/radio semua media akan selalu naik. Kesulitan ini makin bertambah dengan adanya tekanan yang mengelilingi wartawan. Dari luar dan dalam lembaga medianya. Bukan hanya dari pemerintah atau aktivis politik.

Di luar media, kelompok elit ekonomi dan politik berpotensi mengendalikan kerja wartawan. Elit ekonomi menjadi penyumbang dana dalam bentuk iklan atau dukungan finansial lainnya. Baik untuk media maupun individu wartawan. Sedangkan elit politik memberik akses pada sejumlah sumber kekuasaan lainnya. Keduanya menggoda sekaligus menakutkan.

Menggoda karena kelompok elit ekonomi menjanjikan pemasukan keuangan yang cepat. Mereka adalah pemasang iklan dalam jumlah yang besar. Posisi tawar mereka jelas. Di satu sisi, media tidak dapat hidup tanpa sokongan dana. Apalagi media lokal yang hanya mengharapkan hasil dari penjulan produk (seperti koran) dan tambahan iklan eceran (retail) yang tidak pasti. Sementara di sisi lain, mengikuti keinginan elit ekonomi yang bertolak belakang dengan kepentingan publik, sama saja dengan menghancurkan kredibilitas mereka sendiri.

Kasus yang sama akan terjadi bila wartawan dekat dengan elit kekuasaan. Daya kritis mereka hilang. Beberapa media di Amerika Serikat kemudian secara tegas melarang wartawannya untuk dekat atau terlibat dalam lembaga atau organisasi yang mempengaruhi kebijakan. Sekedar contoh, “Daily Ledger” di Iowa memecat dua redakturnya yang mendirikan organisasi antiaborsi. Atau pada 1991, “Morning News Tribune” di Washington menurunkan jabatan seorang reporternya karena membantu mengorganisir sebuah referendum kota.

Di dalam lembaga media, pemiliklah yang paling punya potensi kuasa untuk menekan wartawan. Kita masih ingat bagaimana sebuah program investigasi di SCTV terpaksa tidak jadi ditayangkan karena intervensi pemiliknya. Atau kita mungkin masih ingat bagaimana sebuah media lokal begitu garang menyerang kebijakan pemimpin daerah yang lama. Sekarang, media tersebut tampil begitu bersahabat dengan pemimpin yang baru. Kisah dapur redaksi seperti ini tidak semua diketahui publik. Agar tercipta saling pengertian, mungkin sudah saatnya publik dan wartawan berbagi keluh kesah. Mungkin.***


*Dipublikasikan di harian Radar Buton, 12 Nov 2011

Labels:

Friday, October 07, 2011

Quo Vadis Berita Politik

Sumber: matanews.com 

COBALAH luangkan waktu sejenak untuk melirik berita utama suratkabar hari ini. Atau berita yang tayang di televisi dan tersiar di radio. Adakah berita politik? Sangat dapat diduga, pasti Anda menemukannya. Pada satu sisi, ini baik sebagai bentuk pendidikan politik kepada pubik. Namun di sisi lain, berita politik seolah menjadi sebuah komoditas yang digunakan media untuk menarik perhatian publik semata. Substansinya sebagai alat pantau kekuasaan demi kepentingan publik jadi terabaikan.

BERITA POLITIK

Batasan berita politik bisa meluas, namun dapat pula dilihat dari aspek yang sempit. Guru Besar Ilmu Politik Universitas Indonesia, Miriam Budiardjo (2008) mengidentifikasi ruang lingkup politik terkait dengan lima aspek utama. Aspek-aspek itu adalah Negara, kekuasaan, pengambilan keputusan, kebijakan, dan distribusi serta pengalokasiannya. Bila didefinisikan kembali, dengan batasan yang sangat luas ini, kita dapat melihat berita politik sebagai berita yang terkait lima aspek tersebut.

Jika ingin mempersempit cakupannya, kita dapat gunakan batasan dari Dan Nimmo, Guru Besar Ilmu Politik dan Jurnalistik dari Universitas Tennessee, AS. Meski tidak dengan tegas menyebutkan definisinya, Dan Nimmo (1999) membatasi berita politik sebagai berita terkait dengan kerja pemerintah (eksekutif) saja. Pusat maupun daerah. Termasuk persinggungannya dengan lembaga legislatif dan yudikatif.

Apapun batasan yang ingin kita gunakan, berita politik menjadi penting bagi publik selama hal tersebut terkait dengan hajat hidup mereka. Jika tidak, berita politik tidak ubahnya seperti gosip saja. Tepatnya pergunjingan politik. Publik hanya disuguhkan kehebohan satu kasus ke kasus yang lain. Seperti layaknya sebuah pergunjingan. Tidak jelas pangkal dan akhirnya. Mengalir begitu saja. Melompat dari satu isu baru dan menghebohkan, ke hal lain yang terbaru dan lebih menarik perhatian. Media seolah memperlakukan berita politik seperti sebuah pertunjukan. Dan sebagai suatu pertunjukan (show), berita politik bisa tampil memukau khalayaknya.

Berita politik menarik perhatian karena umumnya memiliki unsur konflik. Jika kisah fiksi yang penuh kontroversi menarik untuk disimak, apalagi kisah nyata yang dikemas dalam berita. Pemerintah versus DPR adalah kisah konflik yang tak kunjung usai disajikan dalam berita. Selain konflik, berita politik juga miliki unsur keluarbiasaan. Contoh sederhana Badan Anggaran (Banggar) DPR yang mogok membahas RAPBN 2012, itu luar biasa. Sama luar biasanya dengan ketika Ketua DPR Marzuki Ali ikut dukung aksi mogong Banggar tersebut. Atau kisah Kepala Daerah yang keluarkan izin penambangan lalu seolah tidak tahu dengan izin itu, juga tidak kalah luar biasanya.

PANTAU KEKUASAAN

L. John Martin (1981) mengambarkan pemerintah, media, dan masyarakat seperti tiga titik yang saling terhubung dalam sebuah segitiga. Pemerintah di satu titik terhubung dengan masyarakat dan media. Masyarakat di titik lain juga demikian, terhubung dengan pemerintah dan media. Media, meski tampak seperti agen penengah, tetap dibutuhkan baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Pemerintah tidak bisa sepenuhnya mampu berkomunikasi dengan masyarakat. Media yang menjembataninya. Beberapa suara masyarakat juga tidak dapat langsung sampai ke pemerintah, media yang memberikan penekanan melalui publikasinya.

Dengan model segitiga ini, sebenarnya tidak ada yang lebih penting dari yang lain. Tidak ada yang lebih berkuasa dari yang lain. Karena ketiganya saling terhubung, saling mempengaruhi. Pemerintah menguasai publik dan media dengan regulasi dan kebijakannya. Masyarakat menekan pemerintah dan media dengan aksi atau reaksinya. Sementara media mempengaruhi pemerintah dan masyarakat dengan berita politiknya. 

Dalam tataran ideal, berita politik (maupun non-politik) yang tersebarluaskan oleh media harus ditujukan untuk kepentingan publik. Mengapa? Saat melakukan kerjanya, wartawan adalah wakil publik untuk mengetahui segala hal terkait dengan hajat hidup masyarakat. Mereka yang menjadi perpanjangan indera masyarakat. Karena mewakili publik, maka kerja wartawan dilindungi. Karena mewakili publik, wartawan boleh meliput di area tertentu yang tidak semua orang boleh memasukinya. Karena mewakili publik, terbuka akses wartawan atas pejabat publik dan sejumlah kelompok elit kekuasaan.

Selain untuk kepentingan publik, khususnya dalam konteks berita politik, wartawan sesungguhnya bekerja untuk memantau kekuasaan dan menyuarakan kaum yang tak bersuara. Ketika menjelaskan laku wartawan ini, Kovach dan Rosenstiel (2004) menggarisbawahi pentingnya peran pers sebagai “penjaga” (watchdog). Mereka tidak hanya membatasi perhatian wartawan untuk memantau pemerintah semata. Tetapi juga meluas hingga pada semua lembaga yang memiiki kekuasaan dalam masyarakat. Kovach adalah kurator Nieman Foundation for Journalism di Universitas Harvard, AS. Sedangkan Rosenstiel adalah mantan wartawan harian The Los Angeles Times spesialis media dan jurnalisme. Di sini keduanya tampak lebih condong pada definisi politik dalam arti luas dari Miriam Budiarjo tadi.

Dengan nada bercanda, wartawan Chicago, Finley Peter Dunne menerjemahkan prinsip penjaga ini sebagai “menyenangkan orang susah dan menyusahkan orang senang”. Menyenangkan orang susah maksudnya membela masyarakat yang tertindas, yang suaranya tidak terdengar atau diabaikan. Menyusahkan orang senang dapat diinterpretasikan sebagai upaya mencegah para pemimpin politik atau elit untuk melakukan hal-hal yang seharusnya tidak mereka lakukan. Demi kepentingan orang banyak, wartawan memantau cara mereka menjalankan kekuasaanya untuk mencegah lahirnya tirani.

Berita politik dengan karakternya yang kaya akan konflik dan keluarbiasaan ini kerap menjadi godaan buat media. Ia dijadikan komoditas oleh media untuk memperoleh keuntungan semata. Untuk meningkatkan penjualan koran/majalah atau untuk meningkatkan rating acara. Pada derajat tertentu, praktik ini sah-sah saja karena media membutuhkan sumber dana untuk kelangsungan operasionalnya. Tapi di sisi lain, ketika batas kepentingan publik telah terabaikan, kita dapat mengatakan bahwa pers telah membajak peran “wakil publik untuk tahu” dan “penjaga” yang diembannya. Setiap hak selalu disertai kewajiban. Hak khusus para jurnalis, tentu tidak dapat terpisahkan dengan kewajibannya yang lain. Itulah yang membuat profesi wartawan menjadi sesuatu yang mulia dan istimewa. ***

Dipublikasikan di Harian Radar Buton 21 Oktober 2011

REFERENSI:
  • Budiardjo, Miriam. 2008. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia. 
  • Chaffee, Steven H (ed). 1975. Political Communication: Issues and Strategies for Research. London: Sage Publications. 
  • Kovach, Bill & Tom Rosenstiel. 2004. Elemen-elemen Jurnalisme. Jakarta: ISAI. 
  • Nimmo, Dan D & Keith R Sanders. 1981. Handbook of Political Communication. London: Sage Publications. 
  • Nimmo, Dan D. 1999. Komunikasi Politik: Komunikator, Pesan, dan Media. Bandung: Ramaja Rosdakarya.

Labels: