Sunday, April 15, 2007

Berita: Provokatif vs Proporsional

SECARA klasik berita memiliki rumus 5W+1H. Bila dijabarkan, berita setidaknya memuat informasi tentang apa yang terjadi (what). Siapa yang terlibat di dalamnya (who). Kapan (when) dan di mana peristiwa itu terjadi (where). Mengapa atau apa yang melatarbelakangi peristiwa tersebut (why). Serta bagaimana peristiwa tersebut terjadi (how).

Tentu tidak semua unsur ini harus ada dalam sebuah berita. Hal ini bergantung pada kelengkapan dan tingkat signifikansi informasi yang dikandungnya. Maksudnya, jika tidak lengkap atau dianggap tidak penting, salah satu unsur dari 5W dan 1H ini tidak dimunculkan dalam berita.

Provocative

Dalam praktiknya, acap kali kita menemukan penambahan unsur 1P yaitu provocative dalam rumus berita. Disebut provokatif karena berita kemudian bertendensi untuk membangkitkan reaksi emosional publik yang membaca atau menyimaknya. Coba buka halaman-halaman koran. Kita akan dengan mudah menemukan judul dan isi berita yang begitu tendensius.

Atau simak berita di televisi. Ada stasiun televisi yang begitu provokatif menayangkan kasus kekerasan di Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN). Gambar-gambar pemukulan menjadi pembuka program berita tersebut. Gambar ini terus ditayangkan di setiap berita yang mengulas kasus IPDN dari berbagai sisi.

Tidak ada keterangan teks yang menunjukkan waktu pengambilan gambar tersebut. Logika awam menyimpulkan bahwa gambar tersebut baru saja diambil. Namun ternyata adegan kekerasan tersebut diambil beberapa tahun lalu saat IPDN masih bernama STPDN (Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri). Jelas ini bias. Penayangan gambar tersebut terasa lebih karena alasan provokatif daripada informatif.

Mengapa gaya provokatif ini digunakan? Mungkin karena ingin menekankan “keluarbiasaan” sebuah peristiwa atau issu. Meski sesungguhnya, tanpa dipoles seperti itu pun, ketika sebuah berita disebarluaskan, publik telah merasakan arti pentingnya. Karena berita tersebut berhasil menyedot perhatian publik. Mengalihkannya dari peristiwa atau issu yang lain.

Kecenderungan ini pada akhirnya menggiring media untuk melihat nilai berita dari sisi sensasionalnya. Bukan dari relevansinya dengan kepentingan publik secara luas. Padahal reporter bekerja di bawah lisensi: “hak publik”. Karena publik mewakilkan kepada jurnalis hak untuk mencari tahu segala sesuatu yang berkaitan dengan hajat hidup mereka (people right to know).

Semangat provokatif pada gilirannya mengabaikan ketelitian dan kehati-hatian reportase. Orientasinya beralih dari mengumpulkan “kebenaran” ke mencari “sensasi”. Publik pun tergiring ke lingkaran permainan wacana yang tak berujung. Mereka terus beranjak dari satu sensasi ke sensasi yang lain. Permainan yang hanya menguras perhatian publik, namun tak mencerahkan.

Proportional

Idealnya 1P yang melengkapi 5W+1H adalah proporsionalitas. Berita yang baik adalah berita yang proporsional. Tidak melebihkan-lebihkan. Tidak tendensius. Menempatkan status informasi pada posisinya masing-masing. Berita yang adil. Yang tidak menghakimi. Berita yang dikonstruksi dengan kerendahan hati dan mengedepankan verfikasi atas informasi.

Berita yang proporsional adalah berita yang ditulis dengan kejelasan derajat informasi. Kejelasan atas apa yang disebut “fakta”, “dugaan atas fakta”, dan “analisis atas fakta”. Publik harus dapat membedakan ketiganya. Tidak boleh “dugaan atas fakta” sedemikian rupa disamarkan hingga menjadi sebuah “fakta”. Demikian pula sebaliknya.

Kalaupun ada “analisis atas fakta” dalam sebuah berita, harus jelas bahwa analisis tersebut adalah milik narasumber. Dan narasumber tersebut memiliki kompetensi, kredibilitas, serta dapat mempertanggungjawabkan pendapatnya.

Kita patut memberi penghargaan pada reporter yang menuangkan analisis pribadinya atas masalah tertentu dalam bentuk tulisan opini (atau pendapat). Tidak membaurkannya dengan berita yang ia tulis. Setidaknya sang reporter memiliki itikad baik untuk memisahkan berita yang ia tulis dengan opini yang ia miliki atas berita tersebut.

Proporsional dapat berarti adil (fair). Fakta tidak berwarna hitam dan putih saja. Begitu banyak yang bercorak abu-abu. Berita sudah selayaknya menampilkan fakta seperti warna aslinya. Yang abu-abu tidak diputihkan. Apalagi dihitamkan.

Tidak menempatkan pihak yang “bisa saja bersalah” sebagai pihak yang “bersalah”. Atau mencari-cari siapa yang mungkin “dapat dipersalahkan”. Jika itu terjadi, berita akan berubah menjadi sebuah ajang peradilan (trial by press).

Proporsionalitas juga mengajarkan kerendahan hati. Bahwa “kebenaran” yang ingin diungkap tidaklah telanjang dan begitu kasat mata. Kerendahan hati akan membangkitkan mekanisme verifikasi atas fakta. Karena bisa saja informasi yang diperoleh reporter adalah salah, keliru, bias, atau menyesatkan.

Karena itu, setiap informasi yang masuk ke redaksi selayaknya melalui proses check-recheck-crosscheck. Informasi harus diperiksa kebenarannya (check), kemudian sekali lagi diperiksa (recheck), hingga pengecekan dilakukan pada sumber yang berbeda (crosscheck). Disiplin verifikasi akan mendekatkan berita pada apa yang disebut sebagai obyektivitas.

Irreversible

Mekanisme verifikasi ini penting karena berita sebagai pesan komunikasi, sifatnya tidak dapat diperbaharui (irreversible). Berita yang sudah disampaikan, tidak mudah untuk ditarik atau diperbaharui kembali dampaknya.

Tidak ada jaminan bahwa ralat, klarifikasi, atau permintaan maaf redaksi atas kekeliruan mereka, akan disimak kembali oleh publik dengan tingkat perhatian yang sama. Karena itu disampaikan pada kesempatan lain setelah berita sudah lebih dulu tersebar.

Berita juga disebut “irreversible” karena tidak mudah mengendalikan efek yang terjadi pada rentang waktu saat berita pertama kali tersebar hingga saat kemudian ralat atau klarifikasinya dibuat.

Siapa yang dapat mengendalikan efek kognitif dan afektif yang telah menjalar dalam kepala dan benak publik saat pertama kali menyimak sebuah berita yang memuat informasi yang salah atau bias? Bagaimana kalau berita itu menimbulkan reaksi seperti kerusuhan massal di Los Angeles beberapa tahun lalu? Dapatkah klarifikasi menghentikannya?

Memang betul, UU Pers menjamin hak jawab dan hak koreksi. Hak jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya.

Dan hak koreksi adalah hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain.

Namun kedua hak ini bukanlah bentuk pembenaran atas kelalaian verifikasi yang seharusnya dilakukan. Hak jawab dan hak koreksi adalah “pintu darurat”. Yang namanya pintu darurat, tidak untuk dilalui setiap hari, bukan? Sudah saatnya berita diperlakukan dengan penuh tanggung jawab sebagai bentuk penghormatan atas hak publik untuk tahu.***

Labels: