Saturday, September 24, 2016

Media Baru dan Sensor Diri


SAAT berdiskusi tentang media baru, pada dasarnya kita membincangkan tiga hal sekaligus. Pertama, teknologi informasi dan komputer. Kedua, jaringan komunikasi yang secara teknis disebut internet (meskipun kemudian konsep internet itu sendiri kerap memiliki banyak makna tergantung konteks penggunaannya). Ketiga, konten media dan informasi yang terdigitalisasi. Ketiga unsur ini saling beririsan yang kemudian menyatu membentuk konvergensi. Konvergensi terjadi ketika informasi bersifat digital yang memungkinkan untuk diakses melalui sejumlah piranti media yang tersedia. Jenis apa saja, tidak terkecuali yang mudah dibawa seperti gawai (gadget).

YANG BARU

Mengapa disebut media baru? Bukannya teks yang kita baca adalah bentuk lain dari teks yang biasa kita jumpai di media cetak? Audio atau audio visual yang kita nikmati pun begitu, sebelumnya sudah disajikan oleh radio, film dan televisi. Lalu apa yang baru dari media media? Sedikitnya tiga hal yang baru: pengalaman, representasi, dan hubungan yang terjalin antara media dengan khalayaknya. Pengalaman yang dimaksud adalah interaksi yang dimungkinkan terjadi. Di media lama, komunikasi bersifat satu arah. Sementara di media baru, khalayak dapat menentukan dan mengkombinasikan sendiri jenis informasi apa yang ingin mereka konsumsi.

Representasi merujuk pada cara pesan memediasi suatu realitas. Simulasi virtual yang diciptakannya misalnya dalam game, betul-betul terlihat hidup. Suatu peristiwa juga dapat tersaji real time dan dapat diakses dalam genggaman. Media baru menawarkan cara baru dalam 'mengemas' dan 'menyajikan' realitas. Pada derajat tertentu, dunia virtual yang direpresentasikan media baru kerap disejajarkan dengan dunia nyata. Misalnya apa yang menjadi kecenderungan pengguna internet (netizen) tidak jarang disebut-sebut sebagai cerminan apa yang menjadi kecenderungan di dunia nyata. Meskipun hal tersebut tidak selamanya benar.

Yang terakhir kebaruan dalam arti hubungan yang terjadi antara media dan pengguna. Batas yang terbangun di media lama antara media (sebagai produsen) dan pengguna (sebagai konsumen) menjadi kabur. Media baru memungkinkan penggunanya untuk menjadi konsumen sekaligus produsen informasi (prosumen). Sifatnya yang partisipatif menjadi salah satu pembeda antara media lama dan media baru. Dalam konteks demokrasi, isu ini menjadi menarik karena setiap orang dapat terlibat dalam percakapan publik. Sayangnya, tidak ada media yang betul-betul bebas dari konsekuensi negatif. Selalu ada peluang terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan.

Memang tidak mudah meninventarisir media baru. Saat membincangkan media lama, kita dapat menyebut satu per satu janisnya: media cetak, radio, dan audio-visual (film dan televisi). Tetapi tidak demikian halnya dengan media baru. Perkembangannya begitu cepat yang tidak memungkinkan untuk melakukan pengkategorian yang ajek. Untuk menyederhanakannya, istilah media baru sering dipertukarpakaikan dengan internet. Meski sekali lagi, internet itu sendiri dapat memiliki makna yang berbeda tergantung di konteks mana istilah tersebut digunakan. Kata kuncinya, hemat saya, kembali lagi ke tiga unsur yang telah saya kemukakan pada paragraf awal tadi.

SENSOR DIRI

Media sosial adalah salah satu bentuk dari media baru. Secara sederhana media sosial dapat digambarkan sebagai media baru yang memungkinkan kita bersosialisasi. Setiap aplikasi media sosial memiliki fitur yang beragam untuk itu. Umumnya aplikasi tersebut menggabungkan format teks, foto, juga video dengan durasi pendek. Dan sebagai bentuk dari media baru, media sosial tetap membawa tiga karakter kebaruan tadi: pengalaman, representasi, dan hubungan sosial (yang baru) yang tidak ditemukan di dunia nyata.

Sebagaimana telah disinggung tadi, Karakter media baru yang seperti pedang bermata dua dan posisi khalayak sebagai prosumen, tidak jarang membawa konsekuensi yang tidak diharapkan. Tidak sedikit kasus kriminal termediasi melalui media sosial. Ada pula kasus pencemaran nama baik, penghinaan simbol negara atau daerah, hingga penistaan agama tersebar melalui media sosial. Begitu banyak hal buruk yang sebenarnya dapat dieliminasi seandainya para pengguna media sosial yang bertindak sebagai prosumen yang disiplin menerapkan sensor diri (self censor).

Sedikitnya ada tiga aspek yang dapat menjadi filter saat melakukan sensor diri atas informasi yang dikonsumsi atau diproduksi: kesantunan, otentikasi, dan identitas diri. Kesantunan melibatkan pertimbangan etis tidak etisnya suatu informasi untuk dikonsumsi, diproduksi, disebarluaskan, atau disebarteruskan. Parameter kesantunan ini tidak baku juga tidak kaku. Bisa berbeda di setiap budaya, kelompok sosial, jenis kelamin, bahkan usia. Meski demikian, tetap ada irisan-irisan kesepakatan tentang apa yang santun dan tidak. Kesantunan ini juga menyangkut isu privacy: batasan antara mana yang sifatnya pribadi dan publik.

Kedua, otentikasi. Seberapa besar kepercayaan kita atas informasi yang tersebar melalui media sosial?* Makin besar tingkat kepercayaan atas informasi tersebut, makin rendah daya kritis kita atasnya. Ini menghilangkan keinginan untuk melakukan otentikasi, verifikasi, atau hal-hal lain yang berkaitan untuk memastikan kebenaran sebuah informasi. Pengecekan yang paling mudah dilakukan adalah dengan memastikan sumber sebuah informasi. Kejelasan sumber dapat membantu kita untuk menakar tingkat kredibilitas sebuah informasi. Hal ini sekaligus menjadi bahan pertimbangan untuk menggunakan atau ikut menyebarteruskan informasi tersebut.

Ketiga, identitas diri. Ini berhubungan dengan bagaimana seseorang menampilkan identitas dirinya di media sosial. Apakah itu diri ideal, riil, semu atau palsu? Cara kita ingin dilihat oleh orang lain menjadi pertimbangan dalam menyeleksi pesan atau informasi seperti apa yang akan diproduksi atau dibagi. Tentu yang diharapkan setiap orang tampil dengan identitas aslinya (genuine) tetapi sekali lagi perlu diingat media sosial adalah media baru yang digunakan untuk bersosialisasi. Dengan kendali prosumen yang ada ditangan setiap orang, pengguna media sosial dapat menjadi seperti apa yang mereka inginkan.***


*) Saat menulis artikel ini, saya menemukan data yang menunjukkan 73 persen orang mempercayai apa yang mereka temukan melalui mesin pencari (search engine) di internet. Tapi saya tidak bisa mempertanggaungjawabkan itu karena tidak jelas siapa yang melakukan penelitian tersebut, termasuk metode yang digunakan.

Aswan Zanynu
about | twitter

Labels:

0 Comments:

Post a Comment

<< Home