Sunday, June 06, 2010

Menyelisik Sumber Anonim

KITA mungkin masih ingat kasus pemberitaan yang menjerat TVOne. Masalah ini mencuat setelah kepolisian menuntut TVOne karena diduga telah melakukan rekayasa berita saat penayangan soal makelar kasus. Dugaan ini bermula dari bantahan yang dilakukan oleh sumber yang tampil di acara tersebut. Di hadapan polisi ia mengaku bukan “berprofesi” sebagai makelar kasus.

Pemberitaan yang dipersoalkan ini tayang dalam acara “Apa Kabar Indonesia Pagi” edisi 18 Maret 2010. Dewan Pers yang bertindak sebagai mediator untuk kasus tersebut tidak menemukan bukti TVOne melakukan rekayasa. Namun demikian, Dewan Pers menilai sumber yang tampil bertopeng dalam acara tadi kurang kompeten (Koran Tempo: 29/5/10). Meski akhir Mei lalu Kepolisian dan TVOne sepakat berdamai, sumber anonim kembali mengusik kita untuk menggali lebih jauh tentang praktik jurnalisme kita.

Anonim

Saat membaca, mendengarkan, atau menonton berita, kita pernah menemukan sumber anonim. Sumber yang dikaburkan identitasnya. Biasanya ia dinyatakan sebagai “sumber yang dapat dipercaya”, “sumber yang tidak ingin disebutkan identitasnya”, dan masih banyak lagi kombinasi penggambaran media yang dilakukan atasnya. Di televisi, wajah dan suara sumber anonim disamarkan. Mereka diberi nama lain atau inisial.

Sumber anonim TVOne ini di layar televisi tampil bertopeng, dengan celana jeans, dan suara disamarkan. Si sumber mengaku sebagai makelar kasus yang sudah belasan tahun “membantu” orang-orang yang terjerat kasus di kantor polisi. Tapi rasanya ada yang aneh. Jika dia sungguh-sungguh anonim, bagaimana dalam waktu yang sangat cepat polisi bisa tahu identitas sumber tadi? Bukankah hanya reporter saja yang seharusnya tahu jati diri sumber anonimnya?

Janggalnya lagi, sumber yang kemudian ketahuan bernama Andris Ronaldi ini diklaim oleh presenter TVOne Indy Rahmawati, juga tampil sebagai sumber anonim makelar kasus di stasiun televisi lain (Tempo: 2/5/10). Jika klaim ini benar, lalu di mana letak anonimnya sumber tersebut?

Biasanya setiap sumber meminta status anonimitasnya hanya kepada seorang reporter. Sumber yang benar-benar ingin menjaga identitasnya tentu tidak akan ceroboh untuk mengumbar informasi ke reporter lain. Itu hanya akan mempercepat terbukanya identitasnya. Di sisi lain, reporter seharusnya mencurigai motif si sumber ketika ia tahu kalau sumber anonimnya mengumbar informasi ke reporter lain.

Memang praktik menyembunyikan identitas narasumber lazim terjadi. Reporter melakukan hal tersebut biasanya atas permintaan si sumber yang mungkin merasa tidak nyaman atau takut bila identitasnya diketahui. Misalnya, jika jati diri tersebut terbuka, dapat berdampak pada keselamatan si sumber. Untuk kasus korban perkosaan, tanpa diminta pun, reporter biasanya menyembunyikan identitas korban atas pertimbangan moral (menutupi aib). Apalagi bila korban masih di bawah umur.

Undang-undang Pers mengakui hak wartawan yang karena profesinya menolak mengungkapkan nama atau identitas lain dari sumber berita yang harus dirahasiakannya. Ini dikenal dengan nama Hak Tolak. Hak ini adalah bentuk perlindungan yang diberikan wartawan kepada sumber anonimnya.

Beberapa reporter biasanya lebih memilih dipenjara daripada memberikan nama atau identitas lain dari narasumbernya. Tapi jika belakangan diketahui kalau sumber tersebut berbohong, reporter harus membeberkan jati diri sumber anonimnya tadi. Kesepakatan status anonim tersebut hanya diberikan jika sumber memberi informasi yang benar dan tidak menyesatkan reporter (Kovach & Rosenstiel: 2004).

Bersyarat

Meski diperbolehkan, bukan berarti reporter dengan leluasa dapat menggunakan sumber anonim kapan saja dan dalam konteks apa saja. Media seperti USA Today melarang menggunakan sumber anonim untuk kutipan wawancara yang berisi tuduhan pada pihak lain. Michael Gartner (1987) bahkan menilai, penggunaan sumber-sumber anonim dalam berita merupakan pertanda reporter yang malas atau redaktur yang ceroboh.

Joe Lelyveld, redaktur eksekutif New York Times, menyaratkan reporter dan redaktur di Times untuk bertanya pada diri mereka sendiri akan dua hal sebelum menggunakan sumber anonim. Pertama, seberapa banyak pengetahuan langsung yang dimiliki sumber anonim atas suatu kejadian? Reporter tidak perlu menggunakan sumber anonim bila sumber tersebut bukan informan kunci.

Kedua, apa motif, jika ada, yang mungkin dipunyai sumber untuk menyesatkan reporter? Selama ini orang percaya, reporter yang “menggunakan” sumber untuk kepentingan peliputannya. Namun dalam beberapa kasus, justru reporterlah yang “dimanfaatkan” oleh sumber berita. Reporter yang baik akan waspada dan selalu berhati-hati dengan kemungkinan motif tersembunyi dari sumbernya.

Melengkapi pendapat Lelyveld, Herbert Strentz (1993) Guru Besar Jurnalisme di Drake University berpendapat, penggunaan sumber anonim harus mempertimbangkan tiga hal. Seberapa penting informasi tersebut bagi khalayak berita? Apakah mungkin sumber akan menderita semata-mata karena ia terkait pada informasi tersebut? Apakah informasi yang dikehendaki tersedia dari sumber-sumber lain yang tidak mempersoalkan anonimitas?

Reporter tidak perlu menggunakan sumber anonim bila informasi yang disampaikan oleh sumber tersebut tidak penting bagi khalayak. Kepentingan khalayak yang dikedepankan. Apalagi bila dengan mudah dapat diperoleh dari sumber-sumber lain yang tidak berkeberatan bila identitas mereka disertakan. Namun satu hal yang pasti, keselamatan sumber adalah yang utama. Khususnya keselamatan diri, jiwa, dan keluarga sumber.

Yang menarik, jangan sampai publik justru lebih suka pada sumber anonim. Lebih membuat penasaran dan membangkitkan rasa ingin tahu. Penampilan mereka yang disamarkan, mungkin saja disadari oleh media sebagai magnet buat paket (acara) berita mereka. Sumber pun dipoles semisterius mungkin tanpa peduli pada hak publik untuk tahu akan identitasnya.

Terlepas dari dugaan naif tadi, satu hal yang tidak boleh terlupakan bahwa kredibilitas informasi dapat dinilai berdasarkan sumbernya. Ketika media asyik dengan sumber-sumber anonim, publik dapat saja kemudian meragukan keabsahan informasi tersebut. Alasannya sederhana. Sumber absurd, tidak jelas, tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Ketika reporter memutuskan untuk menggunakan sumber anonim, dia harus yakin dengan kredibilitas sumber tersebut. Verifikasi yang gigih harus dilakukan sebelumnya. Ketatnya persaingan media tidak selayaknya menjadi alasan untuk mengendurkan mekanisme “check”, “recheck”, dan “crosscheck” karena berita adalah bisnis kredibilitas.***

Labels: