Wednesday, September 20, 2006

Radio dalam ‘Perang’ Antarmedia

SAAT ini radio di Sulawesi Tenggara sedang ditinggalkan pendengarnya. Tetapi belum mati. Perlahan namun pasti, audiens radio terus digembosi oleh televisi. Begitu tengarai seorang panelis dalam pertemuan yang digelar Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Sulawesi Tenggara, belum lama ini.

Perkembangan media massa memang dipenuhi aksi gembos menggembosi khalayak. Televisi kerap dituding sebagai biang kerok. Karena ia lahir belakangan dan merusak ‘stabilitas’ audiens media.

Televisi

Bila dirunut, media cetak lebih dahulu lahir kemudian radio dan film. Suratkabar bulanan pertama kali terbit di Italia tahun 1562. Menyusul tahun 1594, majalah lahir di Jerman. Meski radio telegraf telah ditemukan oleh Marconi sejak 1895, radio baru memasyarakat di awal abad ke-20.

Di waktu yang sama (1895), kamera film juga telah ditemukan. Film mulai menjadi sebuah bisnis yang besar di tahun 1912. Sayangnya, berselang hampir dua dekade kemudian, bisnis ini harus menghadapi pesaing baru: televisi. Tahun 1927, televisi pertama kali didemostrasikan di Amerika Serikat. Inilah awal perseteruan antarmedia.

Televisi kemudian dituding sebagai penyebab berpalingnya khalayak dari media konvensional saat itu (suratkabar, radio, dan film). Bioskop banyak yang gulung tikar. Hal ini disebakan oleh televisi yang mampu menayangkan hiburan sekelas bioskop.

Kecepatan pesan radio, juga dikalahkan televisi yang mengkombinasikan audio dan visual. Deskripsi koran dan majalah juga nyaris tumpul menghadapi televisi yang kaya visualisasi. Pendengar dan pembaca kemudian lebih memilih untuk menyimak televisi yang tampil nyaris paripurna.

Internal

Diakui, terlalu menyederhanakan masalah bila menuding televisi sebagai penyebab berkurangnya pendengar radio. Murah dan mudahnya mendapatkan lagu dalam format MP3 atau VCD, juga ikut mengurangi kedigdayaan radio sebagai media hiburan.

Lepas dari faktor eksternal yang sulit untuk dikendalikan oleh radio, ada masalah internal yang juga sedang membelit. Minimnya modal dan kualitas pekerja radio adalah dua kendala yang krusial. Sialnya, kedua kekurangan ini memiliki efek domino hingga ke tingkat dasar.

Modal yang terbatas ikut membatasi pengadaan perangkat-perangkat standar penyiaran radio. Mulai dari antena, transmitter, mixer, microphone, hingga komputer. Ini mempengaruhi kualitas audio yang dipancarkan dan yang diterima oleh audiens. Padahal audio merupakan unsur vital bagi radio.

Modal yang terbatas, juga berdampak pada pengembangan radio. Biaya program dan lobi marketing menjadi prioritas nomor dua. Manajemen lebih memusatkan diri pada biaya operasional sehari-hari (seperti listrik) dan pengganjian karyawan. Padahal, program dan marketing adalah pionir pelipatganda keuntungan radio komersil.

Selan modal, faktor manusia juga memberi andil yang signifikan dalam keberhasilan (atau kegagalan) pengambangan radio. The man behind the gun. Hanya mereka yang memiliki pengetahuan dan keahlian yang dapat mengoptimalkah hasil kerjanya.

Fakta di Sulawesi Tenggara menunjukan, tidak sedikit pekerja radio tumbuh dengan semangat otodidak. Konsekuensinya, waktu yang seharusnya digunakan untuk mengembangkan radio, justru digunakan untuk ‘mempelajari’ radio. Terjadilah trial and error. Bila gagal, coba lagi. Hampir di setiap lini. Mulai dari administrasi, personalia, produksi, hingga marketing.

Sinergi

Meskipun demikian, tetap ada celah untuk membangkitkan kembali kedigdayaan radio. Secara empirik, di setiap belahan dunia tempat terjadinya ‘goncangan’ akibat aksi tarik menarik audiens, tidak ditemukan fakta lenyapnya sebuah bentuk media. Media yang kalah dalam ‘pertarungan’ biasanya hanya akan mengalami mati suri.

Hal ini merupakan konsekuensi dari media sebagai sebuah industri. Secara naluriah, mereka akan saling memangsa. Dan secara naluriah pula, mereka akan mengerahkan segala daya upaya untuk tetap bertahan hidup. Baik dalam bentuk sinergi atau mengekspolitasi kekhasan karakter mereka.

Sinergi dapat dicontoh dari bergabungnya group televisi MNC (RCTI, TPI, dan GTV) dengan jaringan radio Trijaya Network. Sekarang pun sedang dijajaki kerjasama antara suratkabar Republika dengan jaringan radio Delta FM. Di tingkat lokal, Radio Swara Alam di Kendari dengan Kendari TV sudah memulainya. Atau kerjasama antara radio Gema di Kendari dengan jaringan radio Trijaya Network.

Terlepas dari itu semua, masih perlu disusun seperangkat strategi untuk memikat dan menarik dukungan khalayak (kembali). Penguatan potensi khas radio akan mengembalikan kedigdayaannya. Potensi khas radio adalah sifatnya yang lokal dan personal.

Tema lokal selayaknya menjadi perspektif pengembangan program radio. Tidak mesti dalam bentuk paket berita atau talkshow saja. Informasi riangan dan hiburan, asal memiliki makna lokal, dapat dikemas dalam beragam varian program radio.

Publik umumnya lebih antusias pada tema lokal yang dekat dengan keseharian mereka. Yang memiliki nilai proksimitas. Ketika perhatian publik dapat diraih, itu pertanda peluang emas bagi marketing untuk memasarkannya. Pengiklan pun akan lebih apresiatif.

Personal

Selain lokal, kekuatan radio terletak juga pada sifatnya yang personal. Belum ada jenis media yang dapat menggantikan keintiman (penyiar) radio dengan pendengarnya. Untuk beberapa acara tertentu, karakter penyiar yang kuat dan menonjol bahkan kerap digunakan sebagai ikon acara. Ini memberi daya magnet dan kesan intim bagi pendengar.

Salah kaprah sering terjadi saat mengelola sisi personal ini. Karena selalu diterjemahkan sebagai bentuk keakraban person to person antara penyiar dengan pendengarnya. Tidak lebih. Padahal sisi personal ini seharusnya dapat dieleborasi oleh untuk keperluan pengembangan dan variasi program.

Misalnya dengan menggali pengetahuan, sikap, perilaku, dan gaya hidup pendengar. Data psikografi ini dapat digunakan untuk merencanakan dan mengembangkan program yang sesuai dengan selera mereka. Celakanya, tidak semua radio telah (dan dapat) mendeskripsikan dengan gamblang siapa profil pendengarnya.

Ada radio yang ingin membidik semua kelompok khalayak (dari anak-anak hingga usia tua). Dimotivasi oleh keinginan untuk menarik banyak pendengar, radio latah ingin seperti televisi. Alasannya, agar mudah dijual oleh marketing.

Mereka berasumsi, makin banyak jumlah pendengar potensial, makin mudah pengiklan untuk dipikat. Padahal dapal praktiknya, keputusan pengiklan tidak melulu disebabkan oleh hitung-hitungan rasional, tetapi lebih pada pertimbangan emosional. Semisal ‘persahabatan’ dengan tim marketing. Atau citra radio yang tersebar dari mulut ke mulut.

Segmentasi yang luas, cepat atau lambat, akan menjadi bumerang. Produser akan bias dan kehilangan orientasi dalam merancang dan mengembangkan program acara. Karena begitu banyak kelompok pendengar yang harus mereka puaskan. Pada akhirnya, segementasi seperti ini melemahkan kekuatan radio sebagai media parsonal.

Latah radio remaja, juga jadi wabah. Diperparah dengan tidak jelasnya positioning yang dipilih. Kerap ditemukan ada dua (bahkan lebih) radio ramaja dalam sebuah kota di Sulawesi Tenggara. Sayangnya, bila simak, tidak ditemukan sebentuk pembeda yang tegas dari format program mereka, selain nama-nama radio mereka sendiri.

Pada akhirnya, modal, keahlian, dan kretifitas dibutuhkan untuk menumbuhkan kekuatan radio komersil. Agar dapat memainkan peran yang lebih signifikan bagi penyebaran informasi dan hiburan di Sulawesi Tenggara. Agar radio tetap bertahan hidup di tengah kecamuk ‘perang’ antarmedia yang tak berujung.***

Labels: