Saturday, July 01, 2006

Komodifikasi Seks Wanita

DALAM sejarah peradaban, penggambaran wanita telah mengalami evolusi. Pada awalnya mereka menjadi pusat ritual. Hasil pahatan dan patung yang ditemukan di tempat-tempat yang membentang dari Eropa, Spanyol, hingga Rusia, semuanya berbentuk wanita. Karya ini diperkirakan ada sejak 25.000 tahun sebelum Masehi. Tepatnya di masa Zaman Batu Lama (Paleolithic). Hampir tidak dapat ditemukan karya seni purba yang berbentuk pria.

Menurut ilmuwan seperti Monica Sjoo dan Barbara Mor, lukisan dan patung wanita tersebut itu menggambarkan figur-figur suci. Dan wanita suci merupakan representasi kesuburan yang terus dipuja. Ia dipercaya sebagai sumber kekuatan inti yang menggerakkan bumi dan semesta alam. Pada masa itu, agama, kebudayaan, dan seksualitas saling menyatu.

Praktik ritual ini melewati setiap peradaban dan bertahan hingga abad awal masehi. Kaum pagan di jazirah Arab di masa pra Islam juga memuja "wanita". Meskipun di kehidupan sehari-hari tidak menyukai anak wanita, mereka menamakan tuhan mereka dengan nama wanita. Ironis. Kaum Kurays menyembah tiga dewi Bulan: al-Lat (bulan cerah), al-Manat (bulan gelap), dan al-'Uzza (persatuan keduanya).

Kepercayaan ini masih memiliki benang merah dengan praktik ritual di Zaman Batu yang menempatkan dewi Bulan sang dewi Agung, sebagai dewi Pencipta, Pemelihara, dan Perusak kehidupan.

Komoditas

Setidaknya hingga peradaban Mesopotamia (di Iraq) dan Mesir, seks dan wanita masih dianggap sebagai sesuatu yang sakral. Kapan wanita menjadi komoditas? Nickie Roberts (1992) dalam penelusurannya menemukan bahwa ini bermula pada peradaban Yunani. Meski gejala ke arah itu telah dimulai pada masa awal sejarah. (Ia menyebutnya "sejarah" sebagai masa Patriarki, masa di mana kaum lelaki yang mulai memegang kendali peradaban).

Dan Yunani kuno adalah suatu masyarakat patriarkat. Di masa itu tidak saja berkembang demokrasi dan filsafat rasional (yang diagungkan Barat), tetapi juga prostitusi. Lokalisasi pelacuran diperkenalkan oleh pemimpin Yunani bernama Solon. Ia bergelar "Sang Bijak". Keuntungan perniagaan wanita yang dikelolanya luar biasa. Konon karena itu, ia bisa membangun pelabuhan Piraeus. Dan sebagai ungkapan "terima kasih", Solon juga membangun kuil yang sangat besar untuk memuja Aphrodite, sang dewi Cinta Yunani.

Praktik seks yang merendahkan wanita berlanjut di masa Romawi. Mereka yang bekerja (dan dipekerjakan) sebagai pelacur banyak berasal dari para budak yang diambil dari koloni Romawi. Ada juga yang berasal dari wanita kelas menengah dan atas. Ini makin disuburkan dengan sikap kaisar-kaisar Romawi yang gemar mengumbar birahi. Mulai dari Julius Caesar, Tiberus, Caligula, Nero, hingga Elagabalus.

Perlakuan kepada wanita sebagai komoditas bisnis, terus berlanjut di masa kebangkitan Eropa. Bukankah abad pencerahan Barat (renaisance) berkiblat pada Yunani dan Romawi? Pada abad ke-18, di Prancis muncul rumah bordir yang melakukan sesuatu yang dapat disebut sebagai "inovasi" di zamannya. Area prostitusi yang terletak di Deux Ports Paris itu, mengiklankan wanita pelayan mereka dalam bentuk foto-foto berpose menantang.

Komodifikasi

Penggambaran wanita telah mengalami evolusi yang mencengangkan. Dari alasan ritual hingga komoditas. Tampaknya motif komoditas masih terus bertahan hingga kini. Meski sejumlah argumentasi digunakan untuk menyamarkannya. Mulai dari seni, pendidikan (seks), hingga hiburan. Toh pada akhirnya ia akan bermuara pada keinginan untuk memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya.

Penyamaran ini dilakukan dalam bentuk komodifikasi. Yaitu memoles nilai guna sesuatu dengan nilai lain yang lebih menarik. Erotisme, seks, atau tubuh wanita adalah salah satu magnet yang digunakan memoles sesuatu (produk/jasa) agar diminati konsumen. Ia dapat tampil dalam bentuk foto, berita, ulasan, hingga iklan. Kita mungkin pernah menemukan iklan mobil atau telepon genggam yang divisualisasikan dengan (tubuh sintal) wanita. Di mana hubungan nilai guna sebuah mobil/telepon dengan tubuh wanita?

Dengan sistem Pers Liberal seperti yang dipraktikkan di Indoensia saat ini, teknik komodifikasi (baca: akal-akalan) sangat leluasa digunakan. Media dapat mengajukan berbagai dalih untuk menjastivikasi kreasi mereka. Ini diperparah dengan tidak detailnya UU Pers membahas aspek kesusilaan. Bila ia disebut sebagai undang-undang khusus (lex specialist), harusnya UU Pers lebih detail daripada Kitab Undang-undang Hukum Pidana (yang disebut sebagai lex generalis). Namun kenyataannya justru sebaliknya. RUU Antipornografi pun belum jelas juntrungannya.

Sejumlah riset menunjukan adanya relevansi antara maraknya pornografi dengan jatuhnya sebuah rezim diktator. Dalam bahasa yang lebih sederhana dapat dikatakan, suburnya praktik komodifkasi seks di media Indonesia adalah efek samping dari apa yang kita sebut sebagai reformasi. Seperti yang kita nikmati saat ini, kendali pemerintah atas media bergeser pada kendali pasar. Selera pasarlah yang menentukan layak hidupnya sebuah media.

Kini kita banyak berharap pada daya kritis publik (sebagai representasi pasar) untuk terus mengawasi media. Mulai dari yang menjadikan wanita sebagai komoditas secara vulgar, hingga yang tersembunyi dengan alasan seni, hiburan, dan pendidikan seks. Media juga diharapkan agar lebih dewasa untuk melakukan sensor diri (self censor) atas komodifikasi seks dan erotisme yang mereka jajakan. Sebagai bentuk penghormatan pada wanita, ibu peradaban manusia.***

Labels: