Tuesday, September 08, 2020

Tips Menjadi Pembicara


SEORANG teman bertanya: Apa ada materi tentang komunikasi efektif di media sosial? Ini pertanyaan yang tidak mudah dijawab. Beberapa hal tentang komunikasi itu nyaris tidak ada rumus bakunya. Meminjam istilah komedian Pandji Pragiwaksono, komunikasi itu 'bisnis' yang paling ajaib. Saat kita melempar apel, orang lain bisa menangkapnya sebagai jeruk. Dan satu lagi, hemat saya, jika ada rumus yang baku tentang komunikasi yang efektif, seharusnya tidak akan terjadi kegagalan komunikasi (miscommunication). Mengapa? Karena komunikasi tidak tentang satu orang saja. Tetapi melibatkan lebih dari satu orang. Kita mungkin dapat mengendalikan cara kita berkomunikasi, tetapi belum tentu dengan orang lain yang menjadi teman berbicara kita. Meski demikian, dengan pengalaman hampir tiga dekada menggeluti ilmu ini, saya percaya ada prinsip-prinsip umum yang dapat kita lakukan untuk membuat komunikasi kita lebih baik. 

#1 Kenali Mereka

Separuh dari kesuksesan berkomunikasi, hemat saya, berasal dari derajat pengenalan kita tentang kepada siapa kita berbicara, menyampaikan pesan, atau berkomunikasi. Bandingkan cara kita bercakap-cakap dengan sahabat atau orang dekat, dengan saat kita berbicara dengan orang yang baru dikenal. Ini paling terlihat dan terasa saat kita memulai percakapan. Makin dekat atau kenal kita pada orang yang menjadi teman berbicara kita, makin mudah komunikasi yang terjalin itu mengalir.

Untuk orang yang baru atau belum pernah kita temui sebelumnya, carilah profil tentang mereka terlebih dahulu. Misalnya, ketika ingin berbicara di suatu forum, cari tahu, siapa peserta yang akan hadir. Usia, latar belakang pengetahuan, kegiatan sehari-hari, apa saja sebanyak mungkin. Karena itu akan sangat membantu. Namun jika konteksnya adalah kita terlibat dalam sebuah percakapan tidak sengaja, jadilah pendengar yang baik. Simak apa yang dia katakan untuk mengetahui siapa dan apa yang sebenarnya dicari atau diinginkan oleh teman bicara kita.

Akan menjadi sedikit lebih rumit kita berkomunikasi dengan publik yang beragam seperti di media sosial. Saran saya, tetapkan kepada orang seperti apa yang menjadi teman berkomunikasi kita. Imajinasikan profil mereka dalam benak kita dan berbekal itu kita menyusun pesan. Dengan demikian, akan tersaring dengan sendirinya mereka yang sebenarnya bukan kepada mereka kita ingin berkomunikasi.

#2 Berempati

Empati adalah sikap kita yang berupaya untuk melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain. Memang sih, tidak semua cara pandang orang dapat dibenarkan apalagi misalnya mereka melihat sesuatu dengan prasangka atau asumsi yang dalam penilaian kita, bisa saja keliru. Tetapi dengan berempati, kita bisa masuk ke 'dalam' diri orang tersebut, dan meluruskan atau mengurai apa yang tadi mereka sampaikan. Berempati membuat kita tidak berada dalam posisi vis a vis (frontal) dengan orang lain. Mereka akan merasa kita berada di pihaknya. 

Saat kita sudah ada di posisi tersebut, orang akan lebih mudah menerima apa yang kita coba sampaikan. Entah itu saran atau perbaikan atas apa yang mereka sampaikan. Saran atau rekomendasi biasanya kita berikan pada orang yang membutuhkan sudut pandang atau solusi atas apa yang mereka alami. Sementara perbaikan adalah cara kita meluruskan (bukan mengkritik) hal-hal yang sudah mereka lakukan agar menjadi lebih baik. Saya sengaja menghindari penggunaan kata 'mengkritik' karena umumnya orang akan berada di posisi bertahan (defend) saat mereka merasa diserang. Saya memilih kata 'memperbaiki' untuk menunjukkan bahwa apa yang kita sampaikan adalah sesuatu yang dapat mereka gunakan untuk menjadikan sikap, pikiran, atau dampak dari tindakan yang mereka pilih akan lebih baik.

#3 Kuasai Topik

Tidak sedikit orang yang begitu berani menyampaikan ke ruang publik hal-hal yang sebenarnya tidak mereka kuasai. Hindari hal tersebut. Sampaikan apa yang benar-benar kita kuasai karena hal tersebut akan membangun kredibilitas kita. Lain halnya jika konteks pembicaraan kita bersifat pribadi, antarteman dekat, yaa silahkan membahas apa saja. Toh konteksnya adalah percakapan ringan sehari-hari. Justru gaya sok tahu kita akan sesuatu yang tidak kita kuasai, bisa membuat komunikasi kita dengan teman atau sahabat menjadi terasa natural (dan mungkin lucu). Itu baik untuk mengokohkan ikatan emosional kita.

Modal paling besar dari seorang pembicara publik adalah kepercayaan (trust) dan kredibilitas. Orang hanya mau mendengarkan atau menyimak sesuatu dari siapa yang mereka percayai. Jadi jangan rusak atau turunkan nilai itu. Tetapi ini bukan berarti semua hal harus kita komentari. Jika di luar dari kemampuan atau pengalaman Anda, jangan segan-segan untuk mengakui. Justru itu tanda seorang yang berpengatahuan, mereka tahu batas-batas apa yang mereka ketahui, dan tahu batas-batas apa yang mereka tidak ketahui. Namun jika dalam sebuah forum Anda tetap didaulat untuk berpendapat, ya berpendapat saja. Tetapi tetap akui bahwa pendapat Anda mungkin saja salah (karena itu bukan bidang keahlian Anda). Yaa biar yang bertanya tidak kecewa. Hehehe....

#4 Sederhanakan Pesan 

Langsunglah pada apa yang kita maksudkan atau pada kalimat inti. Nanti setelahnya baru kita mengurai agar kalimat tersebut dapat dipahami lebih jelas. Ini cara yang kita lakukan bagi mereka yang sejak awal memang membutuhkan saran atau masukan dari kita. Tipe orang seperti ini, akan menyimak argumentasi dan alasan dari apa yang kita sampaikan. Pastikan saran tersebut dapat mereka lakukan dan berkaitan langsung dengan apa yang mereka hadapi.

Sementara orang yang dari awal tampak harus 'diperbaiki', mulailah dengan cara yang sebaliknya. Jangan langsung pada inti. Buka dengan beberapa contoh atau ilustrasi yang menempatkan kita ada pada posisinya, lalu perlahan giring ke arah yang kita maksudkan. Dalam bentuk kalimat, mungkin kita bisa katakan: "Sikap, pikiran, atau tindakak Anda itu tampak baik karena .... (kita mempertagas apa yang menjadi dasar pembenarannya). Dan tampaknya akan menjadi lebih baik jika .... (kita memasukkan 'perbaikan' yang hemat kita akan berguna buat mereka)". Di sini kita harus dapat menawarkan sesuatu yang lebih 'menguntungkan'. Jika tidak, mereka akan memilih dan bersikukuh dengan pendapat mereka sendiri.

Di bagian ini akan terasa pentingnya mengenal kepada siapa kita berbicara. Pilihan kata, contoh, ilustrasi, serta 'keuntungan' yang kita tawarkan dari saran atau perbaikan yang kita sampaikan, akan lebih mudah diterima jika mengetahui dengan baik kepada siapa kita berbicara. Kita mampu memprediksi tingkat atau kemampuan berpikir serta hal-hal yang sebenarnya mereka cari. Tidak perlu menggunakan kata atau istilah yang terlalu muluk-muluk. Pilihlah kata yang lugas, tidak multitafsir. Dengan demikian, teman berkomunikasi kita tidak menduga-duga dan dapat dengan langsung menangkap hal-hal yang ingin kita sampaikan.

#5 Bersiaplah Kecewa

Seperti yang tadi saya sampaikan di bagian awal, komunikasi menjadi tidak mudah karena melibatkan dua orang atau lebih. Ada andil dari orang lain atas kesuksesan komunikasi kita. Kemungkinan terburuk apa yang kita sampaikan adalah ditolak 100%. Jadi bersiaplah kecewa tetapi jangan anggap itu kegagalan. Setidaknya kita sudah dapat menunjukkan niat baik dan empati kepada mereka. Yaa tidak setiap orang harus sepakat dengan apa yang kita sampaikan, bukan?! Lagi pula, kita tidak pernah tahu masalah apa yang lebih besar yang sedang mereka hadapi (yang menjadi penghalang apa yang kita sampaikan). Mungkin di kali lain, mereka ada dalam kondisi psikis yang lebih dapat menerima hal-hal yang ingin kita sampaikan.

Kemungkinan lain, bisa saja teman berbicara atau mereka yang menyimak saat kita berkomunikasi, hanya akan mengambil hal-hal yang mereka ingin ambil. Ini yang biasa disebut sebagai "persepsi selektif". Ya biarkan saja, setidaknya ada yang mereka ambil dari apa yang kita sampaikan. Kita berprasangka baik bahwa apa yang mereka tolak atau abaikan, mungkin tidak tepat dengan kebutuhan atau pernilaian mereka. Kita sedang berhadapan dengan manusia berakal, bukan robot yang pasrah untuk menerima perintah yang kita sampaikan. Jadi dibawa santai saja.

Hemat saya, dengan bersiap kecewa, kita juga akan menjadi komunikator yang demokratis, tidak dogmatis. Dari situ kita terus memperbaiki dan membuka diri dengan segala kemungkinan yang terjadi. Sikap ini akan menjadi sebuah kado besar jika suatu saat kita menyadari ada yang menjadi lebih baik dengan apa yang telah kita sampaikan. Seperti petani yang menabur benih di tanah tak bertuan. Betapa bahagianya jika di suatu hari, dia menemukan ada tunas-tunas yang tumbuh dari apa yang telah dia semai dengan niat baik di masa sebelumnya. Bukan begitu?! @aswan

Labels: