(Mereduksi) Tiga Distorsi Pers
PERS Indonesia telah melewati sejarah panjang. Suratkabar berbahasa Melayu “Medan Prijaji” terbit pada Januari 1907. Seabad berlalu, wajah pers tidak saja hadir di suratkabar, tetapi juga radio, televisi, hingga internet. Pers adalah lembaga sosial sekaligus wahana komunikasi massa. Pers melakukan kegiatan jurnalistik yang meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi secara berkala kepada publik. Informasi tersebut dapat berbentuk tulisan, grafik, suara, gambar dan suara yang disebarluaskan melalui media cetak atau elektronik.
Dalam melakukan kegiatannya tersebut, sosiolog media Wilbur Schramm (1973) menyebut pers menjadi pengamat (watcher), forum, dan guru (teacher) bagi masyarakat. Meski puluhan tahu berlalu dari era ketika Schramm mengemukakan pendapatnya, tampak peran ini masih aktual untuk diperbincangkan. Mengapa? Sebab dalam kenyataannya, ketiga peran tersebut berpeluang mengalami distorsi.
Pertama, dalam menjalankan perannya sebagai pengamat (watcher), hampir tidak ada isu/peristiwa yang luput dari bidikan pers. Beragam topik. Semua hadir berkala. Suratkabar tampil berlembar-lembar. Televisi-berita tiap jam punya breaking news. Radio-berita tiap waktu dapat melakukan siaran langsung. Melalui internet, berita bahkan diperbaharui setiap detik. Tiap media berupaya memaksimalkan karakternya untuk mengabarkan apa yang telah atau sedang. Tidak sekedar mengamati, pers juga memberi interpretasi dan prediksi atas suatu peristiwa/topik berita. Publik pun menjadi lebih awas dengan lingkungannya. Punya cukup untuk informasi untuk bertindak dan mempersiapkan diri untuk segala hal yang mungkin terjadi.
Dengan kecenderungannya mengabarkan apa yang sedang terjadi, pers terkadang tergoda untuk berpindah dari satu isu ke isu lain. Akibatnya, beberapa hal yang harusnya dapat dikawal dengan tuntas jadi terabaikan. Isu Ahmadiyah sekarang muncul lagi. Sebelumnya masalah ini pernah jadi headline liputan pers pertengahan tahun lalu. Pers terasa tidak tuntas memberi perhatian pada penerapan Surat Kesepakatan Bersama (SKB) Tiga Menteri. Ahmadiyah kembali jadi liputan setalah kerusuhan penyerangan atas kelompok ini terjadi lagi di Cikeusuk, Banten awal Februari 2011. Begitu pula nasib para Tenaga Kerja Wanita Indoneisa di luar negeri. Pers belum sungguh-sungguh memantau untuk memastikan bahwa mereka dilindungi. TKW jadi berita hanya ketika jatuh korban. Setelah itu isu TKW lenyap.
Kita juga masih ingat saat isu pembalakan liar menjadi tema sentral pemberitaan kala terjadi longsor di Wasio Papua. Sekarang, masih adakah isu itu di media? Pasca tsunami Aceh akhir Desember 2004, pers juga memberitakan sistem peringatan dini di sepanjang pantai barat Sumatra. Publik baru tahu kalau sistem itu tidak berfungsi setelah tsunami terjadi dan memakan korban di Nias beberapa tahun kemudian (2010). Mirip dengan liputan busung lapar. Bagaimana kebijakan pangan dan pengentasan kemiskinan di tiap daerah? Publik tidak pernah tahu sampai (sekali lagi) jatuh korban.
Kedua, pers memainkan peran sebagai forum. Tempat bertemunya segala isu dan kepentingan. Pers seperti panggung yang mementaskan segala isu yang menarik dan terkait dengan kepentingan publik. Dengan fungsi seleksinya (gatekeeper), pers mengumpulkan, memilih, dan menyajikan isu/peristiwa kepada publik. Kita tidak pernah mengenal siapa Prita sampai pers mengangkat kisahnya. Khalayak pun tidak pernah tahu kasak-kusuk pergantian kabinet sampai media memberitakannya. Seperti moderator, pers menentukan siapa atau apa yang boleh tampil dalam forum yang dikendalikannya.
Di satu sisi, hal ini tentu positif. Namun di sisi lain, godaan bukannya tak ada. McQuail (1994) mengemukakan serangkaian riset yang dilakukan atas isi media menunjukkan bahwa pers cenderung menghadirkan perspektif kelas atas atau menengah saja. Kelas sosial yang dimaksud di sini baik dalam konteks pekerjaan, penghasilan, status, juga pengaruh. Pers juga lebih cenderung memilih sumber dari para ahli dan pemimpin resmi. Bukan dari kalangan orang kebanyakan. Konsekuensinya, forum yang disajikan pers berpotensi bias dari pespektif kelas sosial (termasuk jenis kelamin).
Pada kasus tertentu seperti teroris atau separatisme, pers kadang juga tergoda untuk memberi ruang bagi kelompok “pembelot”. Menjadikan mereka sebagai sumber berita, seolah memberi posisi tawar-menawar yang sederajat antara teroris atau pelaku gerakan separatis dengan pemerintahan yang sah. Tanpa sadar, pers telah menjadi kaki tangan atau corong mereka. Menciptakan citra bahwa teroris/separatis itu “besar”. Padahal jumlah mereka sangat sedikit. Gerakan Aceh Merdeka (GAM), OPM (Organisasi Papua Merdeka), RMS (Republik Maluku Selatan), atau Jaringan Jamaah Islamiah sejatinya kecil. Pers memiliki andil yang membuat aksi mereka menjadi besar dan menggema dalam benak publik.
Terakhir, pers adalah guru. Melalui berita, publik belajar nilai demokrasi, kesetaraan, hak asasi manusia, perlindungan bagi minoritas, dan sejumlah semangat positif lainnya. Namun disayangkan, tidak semua yang tersaji dalam “kurikulum” berita adalah benar. Pers kadang tergoda untuk menyajikan mitos. Contoh kecil saat pers mengabarkan peristiwa bunuh diri. Masih sering kita menemukan dalam berita bahwa aksi bunuh diri tersebut disebabkan oleh kemiskinan. Benarkah demikian adanya? Jika benar, seharusnya 31 juta penduduk miskin di Indonesia juga melakukan hal yang sama. Tetapi kenyataannya tidak ada bunuh diri massal. Berarti bunuh diri dengan alasan kemiskinan hanyalah mitos.
Bagaimanapun juga, pers adalah sebuah lembaga sosial. Organisasi medianya tidak sesederhana yang mungkin diduga oleh publik. Banyak faktor yang ikut menentukan kualitas pers. Mulai dari faktor internal (seperti dorongan pemilik modal) hingga faktor eksternal (lingkungan ekonomi-sosial-politik media). Godaan distorsi peran pers seperti yang dipaparkan tadi dapat terjadi di media apa saja: internasional, nasional, lokal, cetak, maupun elektronik. Dengan mengingatkan perannya, pers diharapkan dapat mereduksi peluang distorsinya.***
Dipublikasikan di Harian Radar Buton 21 Pebruari 2011
Labels: Jurnalisme
0 Comments:
Post a Comment
<< Home