Berita: Tokoh & Lakonnya
HARIAN The Jakarta Post menyebutnya “the man who knew too much”. Siapa lagi kalau bukan Komjen Susno Duadji. Dalam waktu kurang dari delapan bulan, ia dapat memainkan dua peran yang bersebrangan. Mulanya ia berada di posisi yang membela Polri saat menangkap petinggi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK): Chandra Hamsah dan Bibit Slamet Riyanto. Dari Susno kemudian lahir istilah: Cicak Lawan Buaya!
Diawali oleh kesaksiannya dalam persidangan Antasari, kini ia justru bertolakbelakang dengan korpsnya. Membeberkan sejumlah informasi yang mengarah pada dugaan praktik makelar kasus yang terjadi dalam tubuh Polri. Padahal sebelumnya beliau justru dituding sebagai otak dibalik rekayasa penangkapan dua petinggi KPK tadi. Media pun kemudian memperlakukannya sebagai tokoh yang “baik”, setelah sebelumnya menampilkannya sebagai tokoh “jahat”.
TOKOH
Apa kesamaan berita dan cerita atau dongeng? Sepintas mungkin keduanya berbeda. Berita berisi fakta dan data. Sedangkan cerita atau dongeng memuat fiksi yang sifatnya imajinatif. Namun demikian, meski tampak berbeda, keduanya memiliki kesamaan. Berita dan dongeng sama-sama berkisah tentang tokoh. Ada tokoh baik dan jahat. Ada pahlawan, ada penjahat. Ada yang benar, ada yang salah. Tokoh hitam-putih. Bahkan yang abu-abu pun dapat kita temukan.
Berita membutuhkan tokoh. Ia menjadi salah satu unsur utama berita (who). Tokoh yang ternama bahkan menjadi berita itu sendiri. Apa yang dilakukan mereka, bernilai berita. Makin terkenal seorang tokoh, makin tinggi nilai beritanya. Aktris Jepang seperti Miyabi yang (baru) berencana main film di Indonesia saja bisa jadi berita. Apalagi seorang presiden seperti Obama. Berita sulit melepaskan diri dari tokoh.
Masih ingat Joy Tobing, Ponari, Prita, atau Gayus Tambunan? Mereka adalah sebagian kecil tokoh yang diperkanalkan media kepada kita. Awalnya publik tidak tahu. Dengan publikasi yang masif, media memperkenalkan sosok mereka beserta atributnya. Dengan atribut itu, publik mempersepsi setiap tokoh. Pencitraan setiap tokoh banyak bergantung pada atribut yang diberikan media kepada mereka.
Atribut adalah keterangan yang diberikan media untuk menggambarkan tokoh yang menjadi ulasan berita. Dari atribut itulah kita kemudian tahu kalau Joy Tobing adalah wanita yang pernah memenangkan kontes Indonesian Idol. Ponari itu dukun cilik. Prita, terdakwa pencemar nama baik Rumah Sakit Omni Internasional. Dan Gayus adalah makelar kasus pajak.
LAKON
Atribut dibutuhkan untuk memperkenalkan tokoh-tokoh dalam berita. Memberi keterangan ringkasan akan diri mereka. Ini sifatnya kontekstual. Misalnya Jusuf Kalla. Ia dapat saja dimintai komentar dalam kapasitasnya sebagai mantan Wakil Presiden atau mantan Ketua Umum Partai Golkar. Di konteks lain, ia dapat pula ditampilkan sebagai Ketua Palang Merah Indonesia atau seorang pengusaha.
Disadari atau tidak, dengan atribut tersebut media dapat membentuk orang-orang tadi menjadi tokoh “baik” atau “jahat”. Seperti dalang dalam sebuah pertunjukan wayang, media seolah menyematkan karakter lalu memberikan peran tertentu pada tokoh-tokoh yang dipentaskannya. Tidak masalah bila seorang tokoh harus bertukar peran dari antagonis menjadi protagonis seperti yang dimainkan Susno Duadji. The show must go on.
Tokoh-tokoh yang dipertunjukkan oleh media “lahir” dengan citranya sendiri-sendiri. Prita ditampilkan sebagai sosok wanita lemah yang memperjuangkan haknya sebagai pasien. Media mengabaikan fakta bahwa dia dengan sengaja menyebarluaskan email ke sejumlah mailing list. Email itu yang dianggap mencemarkan citra Rumah Sakit Omni Internasional.
Media yang tidak mendukung UU Pornogafi menjadikan Mangku Pastika sebagai tokoh internal pemerintah yang menentang UU ini. Gubernur Bali tersebut dipilih untuk melakonkan perlawanan. Bagaimana dengan gubernur-gubernur lain? Apakah mereka seide dengan mantan Kapolda Bali ini? Kelihatannya tidak. Oleh karenanya mereka tidak dihadirkan dalam berita sebab dapat mengacaukan agenda penolakan yang diusung oleh media tersebut.
Masih segar pula dalam ingatan kita bagaimana pemberitaan dengan begitu gencarnya membela Chandra dan Bibit. Keduanya dicitrakan sebagai pejuang anti-korupsi. Media tidak terlalu memberi penekanan pada fakta bahwa beberapa mekanisme kerja internal mereka di KPK (seperti penyadapan) masih rawan untuk disalahgunakan. Media juga tampak tidak terlalu serius mengejar motif di balik pengakuan Susno. Bisa jadi hal tersebut dapat merusak lakonnya sebagai “orang baik” di tubuh Polri yang kini diberikan media kepadanya.
PUBLIK
Bagaimana dengan publik? Sepertinya tidak ada pilihan lain. Publik akan menerima begitu saja apa yang dipentaskan media untuk mereka. Tidak adanya akses langsung kepada tokoh-tokoh berita. Konfirmasi tidak mungkin untuk memeriksa kebenaran informasi yang kita terima. Apa yang diberikan oleh media, itulah yang kita terima. Itu pulalah yang sangat mungkin kita jadikan sebagai rujukan.
Di masa menjelang kejatuhan Presiden Soeharto, tokoh seperti Amin Rais, Sri Bintang Pamungkas, atau Emha Ainun Najib kerap tampil sebagai tokoh berita. Sekarang kemana mereka? Setelah Soeharto terguling, media tidak membutuhkan lagi peran mereka sebagai agitator perubahan rezim.
Sebagai penutur, media memiliki keleluasaan untuk memilih dan memoles tokoh-tokohnya. Tokoh “baik” yang ditampilkan media, belum tentu sebaik yang dipersepsikan publik. Demikian pula mereka yang ditampilkan dengan karakter “buruk”. Mereka tidak seburuk yang digambarkan dalam berita.
Karenanya, sangat arif bila publik tidak melihat media sebagai penyaji jati diri tokoh yang mereka tampilkan. Karena, ibarat sebuah cerita, berita hanya menyajikan karakter tertentu dari tokohnya. Sekali lagi, bukan jati mereka. Tokoh-tokoh tersebut hanya memainkan lakon dengan peran dan karakter yang dikonstruksi media. Seperti wayang yang dipilih dan keluarkan dari kotak oleh sang dalang, lalu dimainkan di hadapan publik.***
Opini ini terpublikasi di Harian Kendari Ekspres hari Jumat 23 April 2010
Labels: Jurnalisme
0 Comments:
Post a Comment
<< Home