Thursday, February 19, 2009

Menjinakkan Bola Api Demonstrasi

MUNGKIN kita pernah mengalaminya. Meski tidak setiap hari. Terjebak dalam kemacetan dan mesti mengubah jalur perjalanan karena terhadang sebuah demonstrasi. Mengapa demonstrasi kerap mengganggu kenyamanan publik? Atau bahkan merusak hingga menyebabkan cedera hingga kematian. Haruskan setiap aspirasi atau kepentingan disuarakan melalui demonstrasi? Mengapa ia begitu difavoritkan?

Tiga Alasan

Sedikitnya ada tiga alasan mengapa demostrasi begitu difavoritkan untuk menjadi sarana komunikasi politik. Pertama, efek publikasi. Hampir setiap demonstrasi selalu menarik perhatian media massa, cetak maupun elektronik. Banyak sudut pemberitaan (news angle) yang dapat dimunculkan. Mulai dari isu yang diangkat oleh demonstrasi hingga keluarbiasaan dampak yang ditimbulkannya.

Makin ‘bertingkah’ para demonstran, makin besar kemungkinan peristiwa itu terpublikasikan. Bila harus memilih satu dari dua peristiwa demonstrasi, proses seleksi media akan menjatuhkan pilihan pada demonstrasi yang paling brutal. Sadar atau tidak, demonstran pun terstimuli untuk berperilaku brutal sebab mereka butuh publikasi. Rumusnya sederhana saja. Makin brutal tingkah mereka, makin besar pula peluang demonstrasi mereka terpublikasi.

Media massa kemudian melihat demonstrasi sebagai sebuah pertunjukan (show). Nilai pentingnya bukan lagi terletak pada substansi isu yang diusung, namun perlahan bergeser pada perfoma demonstrasi. Sadar atau tidak, media pun kemudian seperti latah dan bertindak menjadi ‘corong’ untuk setiap demonstrasi. Mengabaikan relevansi isu yang diusung sebuah demonstrasi dengan kepentingan umum.

Kedua, setelah efek publikasi, demonstrasi juga dipilih menjadi sarana komunikasi politik karena tekanan yang ditimbulkannya. Mereka yang kontra atas sebuah isu, akan merasa lebih tertekan secara fisik juga psikis. Mereka yang belum memiliki sikap didesak untuk segera mendukung. Sedangkan mereka telah mendukung, akan semakin memiliki ‘legitimasi’ untuk memuluskan kepentingan mereka.

Seperti rantai yang kait mengait, publikasi sebuah demonstrasi menciptakan efek domino. Beberapa kasus hukum misalnya baru mendapat penanganan serius ketika isu itu diangkat kepermukaan oleh media. Skala prioritasnya bukan dilihat dari urutan, dampak atau waktu masuknya sebuah kasus, tetapi lebih pada sekuat apa media memberi penekanan atas kasus tersebut.

Ketiga, demonstasi difavoritkan bisa jadi karena penyelenggaraannya yang lebih mudah dan efektif. Mudah karena hanya dengan pembiayaan yang tidak terlalu mahal, beberapa orang sudah bisa terkumpul, membentangkan spanduk, dengan sedikit orasi. Efektif dalam arti dapat terpublikasi (gratis) dan memberi efek tekanan yang cukup signifikan.

Tiga Alternatif

Media seperti Koran Tempo mencatat, sejak tahun 2008 hingga awal 2009 sedikitnya telah terjadi lima demonstrasi anarkis. Akhir Januari 2008, kantor DPRD Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, dilempari demonstran hingga kaca-kacanya berantakan. Pengunjuk rasa kecewa atas mutasi sejumlah pegawai negeri sipil. Akhir Maret 2008 demonstran menyerang kantor Walikota Kendari, Sulawesi Tenggara.

Awal Desember 2008 demo ribuan pekerja di kantor Walikota Batam berakhir ricuh. Empat demonstran kepalanya bocor, tiga polisi dan empat anggota Satuan Polisi Pamong Praja terluka. Di Januari 2009 Warga Pandeglang, Banten, mengamuk hingga merobohkan pintu gerbang kantor Bupati Pandeglang. Mereka menuntut penuntasan kasus suap yang diduga melibatkan anggota DPRD. Sementara di awal Pebruari 2009, aksi massa menuntut pembentukan provinsi Tapanuli di gedung DPRD Sumatera Utara berlangsung ricuh. Ketua Dewan Abdul Aziz Angkat meninggal setelah dipukuli massa.

Tulisan ini tidak ingin mengklaim bahwa demonstrasi itu buruk. Meski masih ada beberapa yang mengganggu kenyamanan publik, tetap ada demonstrasi damai yang berwajah permai. Yang mungkin patut untuk diketahui publik bahwa untuk menyampaikan aspirasi, demonstrasi bukanlah satu-satunya sarana. Masih banyak sarana komunikasi politik yang mungkin untuk digunakan. Misalnya melalui partai politik, kelompok penekan dan media massa.

Satu dari sekian fungsi partai politik adalah melakukan agregasi kepentingan. Demonstrasi pada dasarnya salah satu bentuk untuk mengekspresikan sebuah kepentingan. Partai politik, baik yang berada di dalam maupun di luar parlemen dapat mengambil inisiatif untuk menjembatani kepentingan itu. Bentuknya bisa dalam bentuk lobi-lobi politik. Di tingkat legislatif maupun eksekutif.

Kelompok penekan seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Lembaga Konsumen, Lembaga Bantuan Hukum, atau Organisasi Masyarakat (Ormas) dapat pula digunakan untuk menjadi saluran komunikasi politik masyarakat. Dengan data dan argumentasi yang mereka miliki, aspirasi dan kepentingan dapat difasilitasi dengan lebih rasional.

Selain melakukan lobi ke legislatif dan eksekutif, kelompok penekan biasanya akan menggandeng media. Melalui media massa, aspirasi dan kepentingan itu diwacanakan. Mereka yang pro dan kontra akan dipertemukan. Tujuannya untuk membuka wawasan publik karena aspirasi tersebut dilihat dari berbagai sudut kepentingan. Publiklah yang akan menilai, seberapa pantas sebuah aspirasi diakomodasi dalam bentuk produk-produk keputusan politis.

Ketika partai politik melepas begitu saja kepentingan yang seharusnya diperjuangkannya. Ketika kelompok kepentingan memperjuangkan aspirasi dengan mengedepankan prasangka dan emosi. Ketika media berlaku ‘partisan’. Ketika itu sebagian besar saluran-saluran komunikasi politik sedang ditutup. Tidak mustahil, demonstrasi kembali akan menjelma menjadi bola api yang siap menghanguskan apa saja yang dilewatinya.

Kita berharap demonstrasi akan menjadi pilihan terakhir. Kalaupun dipilih, ia dijalankan dengan damai. Alangkah indahnya bila kepentingan terlebih dahulu digelindingkan melalui lobi. Diwacanakan melalui dialog dengan rasionalitas yang tinggi. Model ini yang akan mendewasakan demokrasi kita. Masyarakat dididik dan dicerahkan dengan patron yang elegan dan bermartabat.***

Labels: